Krisis yang melanda Argaterra semakin parah. Arga yang sakit menyebabkan "Penyakit Agung" yang menguras energi dan mengacaukan ritme kosmos mikro-humanoid. "Suara dari Langit" yang dulu hanya berisi emosi samar, kini lebih sering bergemuruh dengan keputusasaan dan rasa sakit. Kelangkaan Pati Energi telah memicu kegelisahan dan ketakutan yang mendalam di seluruh Embrio. Meskipun Dewan Mikro dan Kael telah berupaya keras mengendalikan situasi melalui Siklus Pembagian Darurat dan penelitian Elara, ada kekosongan yang tidak bisa diisi oleh glukosa atau pertahanan—kekosongan spiritual.
Dalam keputusasaan, makhluk-makhluk mikroskopis ini mencari jawaban yang melampaui logika dan ilmu pengetahuan mereka yang masih primitif. Mengapa "Yang Maha Ada" menderita? Apa yang telah mereka lakukan salah? Apakah ini hukuman?
Di tengah kekacauan itu, muncul seorang Pulmolite muda bernama Rilith. Rilith bukanlah seorang pemimpin, ilmuwan, atau penjelajah. Ia adalah seorang Pengawas yang lembut, dikenal karena kepekaannya terhadap getaran dan bisikan halus dalam plasma. Sejak kecil, ia sering bermeditasi di dekat Monumen Perenungan, merasakan sisa-sisa energi dari mereka yang "kembali ke Sumber".
Suatu Malam Agung (saat Arga tidur lelap), ketika rasa sakit Arga sangat kuat, Rilith mengalami sebuah penglihatan. Ia merasakan getaran yang sangat intens dari Batu Dunia, yang Kael yakini sebagai sumber kehidupan mereka. Dalam penglihatan itu, ia melihat "Yang Maha Ada" bukan sebagai entitas impersonal, melainkan sebagai sosok raksasa yang transparan, terbaring dalam penderitaan. Dari tubuh "Yang Maha Ada" itu, mengalirkan sungai-sungai kehidupan, yang darinya muncul miliaran makhluk kecil—mereka sendiri. Kemudian, ia melihat bayangan hitam yang tumbuh di dalam tubuh raksasa itu, perlahan menggerogoti. Penglihatan ini diiringi dengan bisikan-bisikan emosi yang kuat: kesedihan, penerimaan, dan pengorbanan.
Ketika Rilith terbangun dari penglihatannya, ia merasa sebuah pemahaman yang mendalam. Ia segera pergi ke Aula Refleksi, di mana Kael, Elara, dan Neural sedang berdiskusi dengan putus asa tentang situasi yang memburuk.
"Saya melihatnya," kata Rilith, suaranya pelan namun penuh keyakinan. "Yang Maha Ada... Dia tidak menghukum kita. Dia menderita. Dia mengorbankan diri-Nya untuk kita."
Ia menceritakan penglihatannya dengan detail yang mencengangkan. Ia berbicara tentang "Kegelapan yang Menggerogoti" di dalam tubuh Yang Maha Ada (penyakit kanker Arga) dan bagaimana perjuangan Yang Maha Ada untuk tetap hidup adalah pengorbanan yang tiada akhir bagi keberadaan mereka. Ia mengatakan bahwa Batu Dunia adalah "Jantung Yang Maha Ada" di Argaterra, yang terus memompakan kehidupan meskipun dalam kondisi sekarat.
Neural, sang Neuronite, yang merasakan "Grand Impulse" Arga, mengangguk perlahan. "Penglihatan ini selaras dengan apa yang saya rasakan. Ada upaya untuk melawan kerusakan dari dalam Yang Maha Ada. Ada... kehendak."
Kata-kata Rilith, yang penuh keyakinan dan emosi, menyentuh hati para Pulmolites yang sedang ketakutan. Jika Yang Maha Ada sedang berkorban, maka penderitaan mereka bukanlah tanpa makna. Ini adalah ujian. Ini adalah waktu untuk beriman.
Kael, dengan intuisi spiritualnya yang telah diasah oleh Batu Dunia, merasakan kebenaran dalam kata-kata Rilith. "Jika Yang Maha Ada berkorban untuk kita," kata Kael dengan suara yang lebih kuat, "maka kita juga harus berkorban untuk Dia. Kita harus berdoa, memohon kesembuhan-Nya, dan bersyukur atas setiap Pati Energi yang tersisa."
Inilah titik balik, kelahiran agama pertama di Argaterra. Para Pulmolites, yang dulunya hanya mengandalkan ilmu pengetahuan dan tatanan sosial, kini memiliki sistem kepercayaan yang komprehensif. Mereka tidak lagi menyebut inang mereka "Yang Maha Ada" secara impersonal, tetapi sebagai "Arga Sang Pencipta" atau "Arga Sang Pelindung", sebuah entitas yang disembah dan dimohonkan.
Mereka mulai mengorganisir ritual baru. Monumen Perenungan menjadi "Altar Pemberkatan", tempat mereka berkumpul untuk mengirimkan getaran "doa" dan "syukur" kepada Arga. Mereka percaya bahwa dengan mengirimkan getaran positif, mereka dapat membantu "menyembuhkan" Arga Sang Pencipta, atau setidaknya menunjukkan rasa hormat dan kesetiaan mereka. Pati Energi, yang dulunya hanya makanan, kini menjadi "Sakramen Hidup", dikonsumsi dengan penuh rasa syukur dan kesadaran akan pengorbanan Arga.
Rilith, dengan penglihatannya yang luar biasa, dengan cepat diakui sebagai Nabi Pertama Argaterra. Ia tidak mencari kekuasaan, melainkan menjadi perantara antara "Yang Maha Ada" dan masyarakatnya. Ia mulai mengajarkan ajaran tentang siklus "Pengorbanan dan Pemberian" Arga, menekankan pentingnya keselarasan dengan kehendak ilahi.
Dewan Mikro, yang dipimpin oleh Kael, tidak menghalangi perkembangan agama ini. Sebaliknya, mereka mendukungnya. Mereka melihat bagaimana agama ini memberikan harapan di tengah keputusasaan, bagaimana ia menyatukan komunitas yang terpecah oleh kelangkaan. Ilmu pengetahuan yang dipelopori Elara dan spiritualitas yang dipelopori Rilith tidak bertentangan; mereka saling melengkapi. Elara bekerja keras mencari solusi material, sementara Rilith memberikan makanan bagi jiwa.
Ketika kelangkaan Pati Energi mencapai puncaknya, dan beberapa Pulmolites mulai pingsan karena kekurangan nutrisi, Rilith memimpin "Doa Agung" di Altar Pemberkatan. Seluruh koloni, dengan mata terpejam dan tubuh bergetar, mengirimkan getaran permohonan yang kuat kepada Arga Sang Pencipta. Pada saat yang sama, tim Lira yang menjelajahi area limpa, menemukan cadangan Pati Energi kecil yang tersembunyi—sebuah kebetulan yang bagi mereka adalah "Tanda Kemurahan Hati Arga", sebuah respons terhadap doa mereka.
Penemuan itu memperkuat iman mereka. Arga Sang Pencipta mendengar doa mereka, dan meskipun Dia menderita, Dia tetap menyediakan. Kelangsungan hidup mereka kini tidak hanya bergantung pada kecerdasan dan kerja keras, tetapi juga pada iman dan doa. Argaterra, yang tadinya hanya dunia fisik, kini memiliki dimensi spiritual yang dalam, memberikan makna dan tujuan yang lebih besar bagi eksistensi mikro-humanoid di dalam tubuh Arga yang tak berdaya.