Lalu aku ke luar rumah, mendengar hujan supaya telingaku tidak berdarah.
Di sana, aku duduk bersama payung tua, yang sejak pagi memeluk lututku.
"Tenang," katanya,
"Ia tak akan membiarkanmu kehujanan sendirian."
Langit pun mulai membocorkan rahasianya, derasnya air jatuh seperti kalimat permintaan maaf
yang tak pernah selesai.
Payungku terbuka,
seperti hati yang berharap dipegang dari dalam.
Burung-burung bahkan sempat berhenti, mengintip dari genteng tetangga.
Mereka penasaran pada kisah yang tertunda.
Namun kaki langit menyerah duluan,
Dan sang awan makin berubah menjadi siksaan.
Menurunkan air hujan yang semakin deras, disertai badai yang merenggut panjatan mimpi.
Mimpi yang bernada:
"cuma mimpi semata"
Tanpa wujud dan perantara.
Payungku menoleh pelan dan menyolek gendang telingaku:
"Maaf, aku cuma menutupi kepalamu, tak bisa melindungi harapanmu."