Pagi itu meminjamkan kulitnya pada kaca yang menguning, setelah jendela menampar keras permukaan kesadaran.
Ia menyisir awan dengan ujung ranting yang basah, menyematkan bisikan pada celah genting tak beraturan sebelum terik menjilatinya pelan-pelan.
Ia bukan lagi pembuka hari,
melainkan pelukis kabar, yang menyembunyikan rahasia di balik jemari embun. Membiarkan bau tanah menjadi bahasa terakhirnya.
Supaya alam bawah sadar betul-betul dalam gelombang otak yang wajar.
Anganku diinjak bagai buah tomat yang rapuh dan lembek. Penantianku disita seketika oleh kaum sewenang-wenang sambil disiksa.
Itu memang harap yang paling sial berhari-hari.
Tapi aku malah sibuk mencari daun teh, supaya tetap berprasangka baik dalam praduga tak bersalah.
Tapi airku sudah terlalu matang, dan mencapai titik didih optimal.
Aku masih berdiri di sana, mendengar teko yang menjerit kepanasan, beserta uap yang menyiksa suhu di atas normal.