Dalam tempat isolasi itu,
Aku menelusuri lorong-lorong yang ditempeli rambu,
Dan mereka sebagai panutan yang dipajang dan lehernya mudah dilepas-pasang sesuka selera.
Mereka berjalan dengan tengkuk gemetaran
Menyandang gelar seolah mahkotanya lambang jenius.
Namun mahkotanya terbuat dari cangkang telur, yang retak setiap kali disentuh kebenaran.
Mereka berkoar ditengah podium
seperti keran bocor yang tak kunjung diperbaiki,
Mengalirkan wejangan kolot tanpa menerima kecerahan dari pendapat lain,
Menggenang menjadi kubangan kata berbau anyir.
Aku dibuat mengamati mereka yang disulap menjadi panutan,
Hanya karena menyandang gelar,
Hanya karena suaranya lebih nyaring daripada pikirannya.
Mereka memakai selimut dari jubah petuah,
Dan mengobral omong kosong di sudut-sudut yang remang.
Bukan aku tak ingin punya teladan, aku terlanjur muak memilih rak berdebu
yang penuh label "paling benar"
Paadahal, isinya kedaluwarsa.
Aku lebih percaya pada semak berduri.
Yang membimbing langkahku meski dengan luka yang nyata,
Daripada bibir manis yang gemar menabur peta palsu.
Barangkali,
dalam hidup yang dipenuhi topeng lusuh ini,
lebih selamat berjalan tanpa rujukan
daripada mengekor pada mereka yang
tergesa-gesa menjual moral seperti pakaian bekas.
Biarlah,
aku berjalan sendiri,
dengan sepatu compang yang jujur
daripada meniti di atas sepatu mengkilap
yang berisi kerikil munafik.