Kegelapan menyelimuti ruang jam utama. Detak terakhir jam terhenti, lalu sunyi.
Di tengah lantai kristal, Rania terbaring terikat oleh garis-garis cahaya gelap yang berdenyut—jatahnya sebagai “hidangan” bagi Sang Pemakan Waktu.
Pemakan Waktu berdiri di atas singgasana jam, sosok berjubah hitam keperakan dengan mahkota retak di kepala. Tangannya yang panjang memegang piring kristal kecil, memantulkan kilau darah waktu.
> “Rania Alverna,” suaranya bergema, “kamu telah memberi segalanya untuk waktu. Sekarang… waktumu dihidangkan terakhir.”
Rania mengerang, tubuhnya gemetar. Namun matanya menyala menantang.
> “Aku rela jadi santapan… asalkan kau membiarkan dunia ini tetap berdetak.”
Pemakan Waktu tersenyum dingin. “Kata-kata itu… manis. Tapi waktu remah-remah saja tidak cukup.”
Ia mengangkat piring—di atasnya, setetes cairan keperakan; esensi detik terakhir Kaen, yang dicuri untuk menguatkanku.
Rania menahan napas. Air matanya jatuh sebaris.
> “Apa kamu akan menghabiskan semua yang tersisa… demi memuaskan kelaparanmu?”
Pemakan Waktu memiringkan kepala. “Aku lapar akan segalanya.”
Ia meraung, dan lampu-lampu jam terpental; retakan waktu melebar.
---
Di luar:
Savana dan Savana Paralel berdiri kelelahan di tangga menara.
Di tangan kedua putri itu—Jam Abadi Auralis, jam raksasa miniatur yang menampung detik tanpa henti.
Reina memegang gulungan kuno.
> “Jam Abadi hanya bisa diaktifkan oleh Anak Waktu sejati… dan...
butuh dua keyong jiwa: satu untuk memanggil energi, satu untuk menahan,” jelasnya.
Savana asli menatap saudara paralelnya. “Jadi… kita harus menukar nyawa? Satu dari kita memanggil, satu menahan?”
Savana Paralel mengangguk. “Kalau tidak… jam akan pecah, mencabik retakan itu jadi selamanya.”
Reina menambahi, “Sementara itu, kalian punya tepat tiga menit sebelum pintu waktu menutup, dan ibu… akan menjadi milikku.”
Keduanya saling berpandangan.
> “Aku yang akan menahan,” kata Savana paralel.
“Aku yang harus pergi… karena aku… sudah kehilangan duniamu.”
Savana asli menahan air mata. “Aku akan memanggil.
Dan aku janji… aku akan mengembalikanmu.”
---
Kembali ke Ruang Terakhir:
Rania merasakan kehangatan cairan Kaen menetes ke bibirnya.
Pemakan Waktu mulai mengundang ritual terakhir.
> “Minumlah… dan waktumu akan terpatri dalam diriku selamanya.”
Rania menoleh, menatap langit jam terbelah.
Suara hati membisik: “Pertahankan detik terakhir, Rania.”
Ia menolak, tubuhnya berusaha meronta.
---
Di lorong waktu:
Savana asli berdiri di sirkuit jam besar. Ia mengangkat Jam Abadi—dua lingkaran yang berputar saling mengunci.
Mukulannya menyalakan energi lembut. Cahaya biru kehijauan menyembur ke atas, menembus retakan menara.
Savana paralel membuka palu kecil:
> “Aku menahan detik ini…
agar detik ibu bertahan.”
Ia memukulnya tiga kali. Kronometer jam Abadi bergetar, lalu…
Sebaris aura putih melayang ke atas, menuju jantung jam utara.
---
Ruang Terakhir:
Pemakan Waktu menahan cairan di udara, menanti Rania menyerah.
Tiba-tiba… gelombang cahaya biru menyapu retakan, memaksa dirinya menutup mata.
Detik cairan Kaen kembali mereda dari sendok kristal.
> “Apa ini…?” teriaknya.
Rania merasakan tali cahaya menipis. Ia menendang sisanya, dan merangkak bebas.
> “Dia… datang menjemputku.”
---
Pelataran menara:
Savana asli—dan paralel—berpelukan singkat.
Aura biru dan putih berbaur, lalu menyusup ke retakan di atas.
Retakan mulai mengecil. Cahaya keperakan tertekan mundur.
Tetapi…
> Tiga detik terakhir mulai gemetar.
Jam di menara utama berdentang tiga kali.
> “Satu…”
“Dua…”
“Tiga…”
Lalu retakan… tertutup dengan dentuman gemuruh lembut.
---
Ruang Terakhir:
Savana asli melompat masuk melalui portal kecil yang terbuka.
Ia meraih Rania.
Kaen—sesosok utuh, kuat—membantu mengangkat istri dan anaknya.
Pemakan Waktu… memudar.
Bayangan terakhirnya tercabik oleh cahaya jam Abadi.
---
Ketika Rania membuka mata…
Ia mendapati dirinya terbaring di sofa ruang pengobatan istana.
Rania paralel? Tidak—ialah Rania asli, walau rambutnya kini sepenuhnya perak.
Kaen berdiri di sampingnya, memegang tangan Rania hangat.
Savana di samping Kaen, memeluk kedua orangtuanya.
Reina muncul, wajahnya lega. “Rania… kau baik-baik saja?”
Rania mengangguk pelan. Lalu tersenyum.
> “Aku… pulang.
Dan detik terakhirku… merangkai keluargaku kembali.”