Pagi itu, Auralis tampak kembali damai.
Langit biru pucat menyinari menara waktu. Suara burung sihir beterbangan di taman istana.
Namun… di dalam dada Kaen, ada sesuatu yang tidak tenang.
Ia berdiri di depan kaca ruang pribadi, mengenakan jubah putih dengan lambang jam matahari di dada.
Tapi di balik pantulan cermin… sekelebat bayangan hitam muncul, lalu menghilang cepat.
Kaen menutup matanya.
> “Kau seharusnya sudah hilang,” bisiknya.
Namun dari kejauhan, suara bisikan itu kembali:
> “Aku tidak pernah benar-benar pergi… karena aku adalah detik yang kau abaikan…”
---
Di ruang bawah istana, Rania duduk bersama Reina dan Savana.
Tubuh Rania kini semakin lemah—tangan kurus, rambut sepenuhnya putih perak. Namun matanya tetap bersinar lembut.
“Bagaimana kondisi jam hidup Ibu?” tanya Savana pelan.
Reina menurunkan kertas pengukuran. “Detaknya melewati tiga bulan dalam tiga hari. Jika terus begini…”
Rania tersenyum. “Aku masih punya waktu.
Dan selama waktu itu belum habis… aku masih ibumu, dan penjaga dunia ini.”
Savana menunduk.
> “Kalau begitu, biarkan aku gantikan peran itu.
Aku ingin Ibu hidup… bukan sekadar menjadi nyala waktu yang kian memudar.”
Rania menyentuh pipi putrinya. “Dan aku ingin kamu tetap jadi anakku, bukan penggantiku.”
---
Namun saat malam tiba, jam di menara kembali bergema—tapi hanya terdengar oleh Kaen.
Ia terbangun dalam tidur, peluh membasahi leher.
Bayangan di dalam dirinya kembali membisik:
> “Aku telah ditarik keluar… tapi tidak sepenuhnya terhapus.
Kau hanya menang satu babak. Sekarang... aku menunggu di ‘Detik Kosong’. Dan aku tidak sendirian.”
Kaen bangkit. Melangkah ke ruang observatorium.
Di sana, ia melihat kilatan hitam keperakan bergerak cepat—menyelinap ke dalam lukisan waktu lama.
Reina menemukan Kaen berdiri diam di sana.
“Kaen, ada yang salah?”
Kaen menoleh pelan. Wajahnya dingin, tapi belum kehilangan kendali.
> “Jejak itu… tidak sepenuhnya hilang.
Pemakan Waktu meninggalkan ‘potongan’…
Dan aku rasa… itu hidup dalam bayanganku sendiri.”
---
Sementara itu…
Rania mengajak Savana berjalan di taman waktu. Langkahnya pelan, tubuhnya makin rapuh, tapi masih tegap berdiri.
“Ibu,” Savana bicara, “Bagaimana jika… waktu Ibu habis sebelum detik berikutnya kita selesaikan?”
Rania menatap langit. “Maka aku akan pergi… sebagai penjaga yang menyelamatkan kalian.
Dan kau akan menjadi penjaga yang menjaga ayahmu… dari dirinya sendiri.”
Savana menangis. “Ibu jangan bicara seperti itu…”
Rania menyentuh dada putrinya.
> “Waktu bukan untuk ditakuti. Tapi untuk dijalani.
Yang abadi… bukan detiknya. Tapi cinta yang kita selipkan di antaranya.”
---
Kaen memohon kepada Reina:
> “Gunakan alat pemindai waktu dalam diri. Aku ingin tahu seberapa dalam ‘jejak gelap’ itu menempel padaku.”
Reina memasangkan kristal pembaca pada dada Kaen.
Tiga detik kemudian… wajah Reina membeku.
“Kaen…”
Ia terdiam. “Jejak itu bukan hanya menempel. Dia… berkembang. Mencari bentuk.”
Kaen mengepal.
> “Kalau begitu… aku harus memotongnya sebelum tumbuh.
Sebelum ia membentuk tubuh baru… dari jiwaku sendiri.”
Reina mengangguk pelan. “Ada satu cara.”
> “Pisahkan waktu yang terkena jejak—dan segel dalam ruang vakum jam.
Tapi jika kau salah langkah…
bisa-bisa kamu kehilangan setengah memorimu.”
---
Kaen pulang malam itu dan duduk di samping Rania yang tertidur.
Ia menggenggam tangan istrinya, mengecupnya perlahan.
> “Kau kehilangan tiga tahun demi aku…
sekarang, aku rela kehilangan setengah diriku demi kamu tetap ada.”
Air mata Kaen jatuh di pipi Rania.
Dan di dalam hatinya… detik terakhirnya mulai berdetak dengan tenang.