Fajar belum menyentuh Auralis, tapi jam di menara pusat berdetak mundur.
Rania terbangun dengan tubuh menggigil. Keringat dingin membasahi dahinya.
Kaen tidur di sampingnya, damai… belum sadar bahwa waktu istrinya mulai berlari lebih cepat dari dunia.
> “Aku… melewati satu bulan hanya dalam satu malam,” bisik Rania sambil menatap tangannya yang mulai menipis, nyaris tembus cahaya.
Tubuhnya memang masih ada, tapi waktu dalam dirinya mulai mengering. Ia mulai menjadi seperti jam usang—yang bergerak, tapi kehilangan makna detiknya.
---
Di ruang observasi, Savana terbaring. Wajahnya pucat.
Reina menatap hasil pengamatan kristal waktu.
“Savana mulai mengalami dualitas waktu. Ia bisa melihat dua dunia sekaligus: dunia ini… dan dunia paralel milik versi dirinya yang lain.”
Kaen mengepalkan tangan. “Apa artinya itu?”
“Artinya… jika dibiarkan terlalu lama, Savana bisa terpecah secara eksistensi. Satu jiwanya di sini, satu lagi di dunia lain.”
---
Savana membuka mata pelan.
Tapi saat ia memandang Reina, yang dilihatnya bukan satu sosok… tapi dua versi Reina.
Satu yang penuh kasih.
Satu lagi… matanya hitam dan berdarah waktu.
> “Aku… mulai melihat dua dunia.
Dan… yang satu bukan milikku.”
Kaen memeluk putrinya.
“Kamu akan tetap jadi milik dunia ini, Nak. Kita akan bawa kamu pulang… seutuhnya.”
---
Malam itu, Savana dari dunia paralel muncul kembali.
Ia menatap Savana asli yang duduk berselimut, matanya sayu.
“Aku tahu apa yang kamu alami. Aku mengalaminya juga. Tapi aku gagal. Jiwaku terbagi. Itu sebabnya… aku datang ke sini.”
Savana asli menatapnya. “Untuk membantuku?”
“Untuk menyatu… sementara. Jika kita bisa menggabungkan kekuatan waktu kita, kita mungkin bisa menahan laju Pemakan Waktu sebelum ia muncul sepenuhnya.”
Savana ragu. “Kalau kita menyatu… apa yang terjadi pada kita?”
> “Salah satu dari kita akan menjadi tubuh utama.
Dan yang lain… hanya akan jadi gema waktu.”
Savana asli menunduk.
“Lalu siapa yang akan menghilang?”
Savana paralel tersenyum tipis. “Kamu. Atau aku. Tergantung siapa yang lebih kuat menanggung seluruh beban waktu.”
---
Sementara itu, Rania berdiri sendiri di taman istana.
Rambutnya kini hampir putih seluruhnya.
Langkahnya ringan, tapi lelah.
Kaen mendatanginya.
“Kenapa kamu tidak bilang padaku bahwa tubuhmu melewati satu bulan dalam satu malam?”
Rania menatap suaminya. Mata yang dulu penuh cahaya, kini mulai meredup seperti lampu senja.
“Karena aku takut… kalau aku mengeluh, kamu akan merasa bersalah lagi. Padahal yang aku inginkan hanyalah… waktu bersamamu. Sekarang. Tak peduli sisa berapa.”
Kaen memeluknya dengan tubuh gemetar.
“Aku akan hentikan ini. Akan aku rebut waktu itu kembali untukmu, Rain…”
---
Dan malam itu—untuk pertama kalinya dalam sejarah Auralis—jam utama pecah.
Gema waktu teriakkan panik.
> Dari dalam retakan jam, muncul kabut hitam pekat.
Lalu… tangan berwarna hitam keperakan mencuat keluar, jari-jarinya panjang, dan seluruh waktu di sekeliling mulai membeku.
Reina berdiri di tangga menara, menatap sosok itu dengan wajah pucat.
“Sang Pemakan Waktu… dia telah keluar dari celah.”
Savana jatuh terduduk, kedua matanya berubah menjadi dua pusaran jam yang saling bertabrakan.
Kaen berdiri di depannya. Melindungi.
Rania, dengan sisa kekuatannya, meraih Kristal Waktu di dadanya.
> “Kalau kau mau memakan waktu siapa pun…
maka makanlah aku.
Tapi biarkan anakku tetap hidup. Biarkan suamiku utuh.”
Tangan Pemakan Waktu berhenti…
Lalu menoleh ke arah Rania.
Dan di matanya, terpantul wajah Rania muda—tersenyum, tertawa, bahagia.
> “Aku lapar… akan waktu seperti itu.”