Pagi pertama setelah ritual.
Rania berdiri di depan cermin kristal air.
Wajahnya masih lembut. Tapi garis-garis halus mulai menghiasi ujung matanya.
Dan yang paling mencolok… helaian rambut perak di pelipisnya.
Ia menyentuh rambut itu pelan.
Tak menangis. Tak mengeluh.
Hanya menghela napas, lalu berkata pada pantulan dirinya:
> “Tiga tahun bukan harga yang murah.
Tapi untuk cinta yang abadi… aku tak akan menawar.”
---
Di ruang tengah istana, Kaen dan Savana duduk saling membisu.
Kaen belum sanggup melihat Rania secara langsung.
Bukan karena takut…
Tapi karena rasa bersalah yang terlalu besar.
“Ayah,” kata Savana akhirnya. “Ibu tidak berubah.
Hanya waktu yang membuat kita sadar… betapa kuatnya cinta itu bisa bertahan.”
Kaen menatap putrinya. “Aku kehilangan tiga tahun hidup Rania karena diriku yang lemah.”
Savana menggenggam tangannya.
> “Tapi Ayah juga mendapatkan kembali hidup.
Sekarang giliran kita menjaga waktu yang tersisa.”
---
Rania akhirnya muncul. Mengenakan gaun lembut biru pucat, rambutnya digelung rendah, dan senyum yang tak pernah berubah.
Kaen berdiri. Menatapnya dengan mata berkaca.
“Maaf…” katanya pelan.
Rania hanya mendekat, meraih wajah suaminya, dan berbisik:
> “Kalau aku diberi waktu ulang,
…aku akan tetap memilih kehilangan tiga tahun,
daripada kehilangan kamu.”
Kaen menariknya dalam pelukan erat.
Rania memejamkan mata.
> Dunia boleh runtuh.
Tapi pelukan Kaen adalah rumah yang tak pernah roboh.
---
Beberapa hari berlalu.
Savana menghabiskan waktunya di menara waktu bersama Reina.
Ia mulai belajar membaca aliran detik hidup, menghafal peta waktu alternatif, dan mempelajari jam dimensional.
“Savana,” kata Reina, “kau punya bakat. Tapi menjadi pelindung waktu artinya… menyerahkan sebagian dari hidupmu untuk dimensi-dimensi yang tak semua orang bisa pahami.”
Savana menggenggam jam kecilnya.
“Jika Ibu bisa memberikan waktunya untuk Ayah,
…kenapa aku tidak bisa memberikan waktuku untuk dunia?”
Reina tersenyum bangga.
> “Kalau begitu, kita mulai pelatihan formal minggu depan.
Kamu akan jadi Eirien Muda—anak waktu pertama dalam seratus tahun terakhir.”
---
Tapi malam itu… sebuah celah waktu terbuka.
Savana sedang berada di ruang jam bawah tanah, mempelajari garis waktu dimensi paralel, saat sebuah suara mengalun dari dalam jam tertua di Auralis.
> “Savana…”
Ia mendekat pelan.
Suara itu… perempuan. Muda. Tapi tegas.
> “Aku adalah kamu…
Tapi bukan dari sini.”
Lalu, dari celah retakan cahaya, muncul sosok perempuan dengan rambut sama persis dengan Savana—namun lebih panjang, dan matanya… keperakan terang.
Savana tertegun. “Siapa… kamu?”
Perempuan itu tersenyum kecil.
> “Namaku juga Savana.
Tapi di duniaku… Ayah tidak pernah kembali.
Ibu menua sendirian.
Dan aku… menjadi penjaga waktu sendirian.”
Savana terdiam.
“Kenapa kamu muncul di sini?”
> “Karena waktu kita mulai bersilangan.
Dan sesuatu dari dunia kami… sedang merambat ke duniamu.”
Savana menelan ludah. “Apa itu?”
Perempuan itu menatapnya dalam-dalam.
> “Sang Pemakan Waktu.
Entitas yang lahir dari waktu-waktu yang dibuang.
Dia sedang mencarimu.
Karena hanya kamu… yang bisa menghentikannya.
Atau… menjadi tubuh barunya.”
---
Savana mundur satu langkah.
“Kenapa aku?”
Savana dari dunia paralel menatapnya penuh iba.
> “Karena kita…
adalah anak-anak dari cinta yang menantang waktu.
Dan cinta seperti itu…
akan selalu diuji. Dalam bentuk paling gelapnya.”
-