Cherreads

Chapter 62 - Bab 62: Bayangan yang Memakai Namaku

Malam itu, hujan jatuh pelan di luar jendela istana.

Rania terbangun dan mendapati tempat tidur di sampingnya kosong. Selimut masih hangat, tapi Kaen… tak ada.

Ia bergegas keluar, menyusuri lorong tanpa suara.

Di ujung koridor, tepat di depan cermin waktu, Kaen berdiri diam. Bayangannya… tidak sama.

Refleksi di cermin tidak mengikuti gerakannya.

Malah tersenyum sinis, saat Kaen terlihat ragu.

“Kaen?” bisik Rania, mendekat.

Kaen menoleh cepat, namun matanya masih milik suaminya. Bening. Bergetar.

“Aku… makin sering bicara dengannya,” gumamnya. “Bayangan itu. Dia memanggilku… dengan namaku sendiri. Tapi seolah akulah yang salah.”

Rania meraih tangannya. “Kamu bukan salah. Kamu adalah kamu. Kami mengenalmu… mencintaimu. Dan kami akan menyelamatkanmu.”

Kaen menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu harus memilih antara kehilangan aku… atau kehilangan waktu hidupmu… apa yang akan kamu pilih?”

Rania tersenyum getir.

> “Kalau aku harus kehilangan waktu,

…aku ingin kehilangannya untuk kamu.”

---

Keesokan paginya, Reina memanggil Rania ke perpustakaan bawah tanah.

“Aku menemukan ini,” katanya sambil membuka lembaran gulung tua. “Ritual Pemisahan Jiwa. Biasa dilakukan untuk melepaskan pengaruh dari entitas waktu gelap. Tapi… hanya bisa dilakukan jika ada ikatan emosional kuat. Dan sebagai bayarannya, pelaku akan kehilangan sebagian umur nyatanya.”

Rania menatapnya tajam. “Berapa banyak?”

“Tiga tahun. Hidupmu akan maju lebih cepat tiga tahun dari waktu dunia. Kamu akan melewati usia tiga tahun dalam satu malam.”

Rania menggenggam meja.

> “Aku akan lakukan itu.

Karena lebih baik aku kehilangan waktu…

daripada kehilangan Kaen.”

Reina menunduk.

“Kalau begitu… kita mulai malam ini.”

---

Malam itu, di pelataran waktu Auralis, Reina menggambar lingkaran pemisahan jiwa di atas tanah kristal.

Di tengahnya berdiri Kaen—tubuhnya gemetar. Kadang, matanya memudar menjadi perak, lalu kembali lagi. Gema waktu berbisik pelan dari arah jam-jam terbalik di sekitar mereka.

Savana berdiri bersama ibunya, menggenggam jam Kaen.

“Kalau ini gagal, Ayah bisa—”

Rania menatap putrinya.

> “Ibu akan memastikan ini berhasil.

Karena cinta itu bukan hanya tentang bertahan…

tapi juga mengusir yang salah dari orang yang kita cinta.”

---

Ritual dimulai.

Reina membacakan mantra pemisah jiwa, sementara Rania berdiri di hadapan Kaen, meletakkan tangan di dada suaminya.

Jam-jam berdentang terbalik.

Udara retak.

Lalu…

> Sosok gelap muncul perlahan dari tubuh Kaen.

Seolah ditarik keluar oleh cahaya cinta yang begitu terang.

Sosok itu identik dengan Kaen. Tapi matanya dingin.

Senyumnya tajam. Suaranya serak dan bergema.

“Kenapa kalian memisahkanku? Bukankah aku juga bagian dari dia?”

Rania menjawab tegas, “Kamu bukan Kaen. Kamu adalah waktu yang menolak kasih. Dan kamu tidak punya tempat di dunia ini.”

Bayangan itu tertawa.

“Kalau aku bukan bagian dari dia… kenapa aku masih bisa merasakanmu?”

Ia menatap Rania, lalu Savana.

Senyumnya mengerikan.

> “Mungkin… aku akan membuat kalian mencintaiku.

Karena aku… juga punya wajahnya. Jiwanya. Tapi tanpa ragu, tanpa tangis.”

Savana maju satu langkah, menggenggam jam kecilnya.

“Kalau kamu memang bagian dari Ayah… kamu pasti tahu satu hal.”

“Apa?”

> “Bahwa kami akan memilih cinta Ayah,

…meski dunia ini memilihmu.”

---

Gema waktu meledak. Cahaya menyilaukan menelan pelataran.

Bayangan itu menjerit, ditarik kembali ke celah waktu kosong.

Kaen jatuh berlutut. Tubuhnya lemah, tapi… matanya kembali utuh.

Warna hitam gelap. Hangat. Tidak lagi perak.

Dan di ujung lingkaran, Rania terbaring—wajahnya sedikit lebih tua, rambutnya sedikit lebih memutih.

Reina berlari menghampirinya.

“Ia selamat. Tapi… waktu tubuhnya telah berpindah tiga tahun ke depan.”

Kaen memeluk Rania dengan air mata jatuh di pipinya.

“Kenapa kamu lakukan itu?”

Rania menatapnya pelan.

> “Karena cinta…

selalu layak diperjuangkan.

Bahkan jika yang dikorbankan adalah waktu yang tak akan kembali.”

More Chapters