Cahaya merah dari portal bunga waktu perlahan menelan tubuh Savana.
Udara di sekitarnya berubah. Dingin. Bisu.
Tidak ada arah. Tidak ada cahaya.
Hanya warna kelabu keperakan sejauh mata memandang.
Tempat itu tak memiliki lantai, dinding, atau langit.
Hanya… eksistensi tanpa waktu.
> “Inikah… Dimensi 0?” gumam Savana.
Tempat yang hanya disebut dalam catatan Reina sebagai “Ruang Antardetik” ini adalah hasil tabrakan dimensi yang gagal menyatu, tempat waktu menolak membentuk masa lalu atau masa depan.
Dan kini, Savana ada di dalamnya. Sendiri.
---
Langkah pertamanya terasa aneh.
Seolah ia melangkah tapi tak berpindah.
Ia menatap jam kecil di lehernya: jarum berhenti.
> “Ini tempat di mana waktu… benar-benar tidak hidup.”
Savana memejamkan mata, memusatkan pikirannya.
Ia mulai mengingat suara terakhir Kaen di Puncak Tanpa Bayangan.
> “Cari aku… di detik yang tak bisa diucapkan.”
Savana menggenggam lonceng kecilnya, lalu berbisik, “Ayah…”
> Dan saat itulah, tanah mulai terbentuk di bawahnya.
Ranting-ranting waktu tumbuh di udara kosong, menciptakan jalur samar ke depan.
Cahaya hijau lembut mulai menyusup perlahan.
Langkah Savana terus bergerak, mengikuti jalur.
Setiap langkah membawa gema.
Suara-suara yang tak terdengar jelas.
“Savana… Eirien… waktu menunggumu.”
---
Setelah entah berapa lama, Savana tiba di pusat Dimensi 0—sebuah lingkaran ruang dengan air yang mengambang di udara, dan di tengahnya, berdiri sebuah figura besar yang retak.
Di dalam figura itu, tampak seorang pria duduk membelakangi, tubuhnya dilingkupi bayangan kabut dan cahaya hijau pucat.
Rambutnya gelap. Bahunya lebar.
Punggungnya… sangat dikenali.
> “Ayah?” bisik Savana.
Sosok itu tidak menjawab.
Savana melangkah mendekat.
Setiap langkah terasa seperti melewati seribu ingatan: suara Kaen tertawa, Kaen menggendongnya waktu kecil, Kaen mengajarinya membaca peta waktu…
Air matanya jatuh.
“Kalau ini bukan Ayah… tolong… biarkan aku tetap percaya bahwa kamu adalah dia…”
---
Sosok itu perlahan bangkit dari duduknya.
Tubuhnya nyaris transparan. Tapi saat ia menoleh…
> Wajahnya… adalah wajah Kaen.
Tapi matanya kosong.
Seperti tak mengenali.
“Siapa kamu…?” tanyanya pelan.
Savana tercekat.
“Aku… anakmu.”
Kaen memejamkan mata. “Aku tak punya anak…”
> “Karena aku tak ingat waktu mana yang milikku.”
---
Savana menggenggam tangan ayahnya.
“Tapi aku ingat semuanya. Aku ingat kamu menyelamatkanku dari bunga waktu beracun. Aku ingat kamu peluk Ibu waktu dia takut kehilangan arah. Aku ingat kamu bilang… bahkan saat dunia menolak, kamu tetap memilih kami.”
Kaen menunduk. “Nama kalian… terhapus dari detik-detikku.”
Savana mengeluarkan lonceng kecilnya.
> “Kalau kamu tak bisa mengingat,
…maka izinkan aku yang memutarkan waktu untukmu.”
---
Ia menggantungkan lonceng itu di dada Kaen.
Dan seketika, cahaya meledak.
Lonceng berdentang pelan.
Air waktu mengalir dari figura yang retak.
> Detik demi detik mulai kembali ke dalam Kaen.
Wajahnya berubah.
Matanya mulai berkilau.
Suaranya kembali berat dan lembut.
“Savana…”
Gadis itu menghambur memeluknya.
Kaen memeluknya kembali—erat—seperti menambal segala kekosongan yang ditinggalkan dunia.
“Terima kasih karena tak berhenti mencariku.”
---
Tapi waktu di Dimensi 0 tidak memaafkan.
Seketika itu juga, retakan besar muncul di langit kelabu.
Suara Reina bergetar dari pelacak:
> “Savana! Kamu hanya punya dua menit lagi!
Jika tidak, portal akan tertutup—dan kalian akan terjebak selamanya!”
Savana menatap Kaen.
“Ayah, ikut aku. Sekarang.”
Tapi Kaen ragu. “Aku masih terikat gema. Jika aku paksa keluar… jiwaku bisa tercerai.”
Savana menggenggam jam kecilnya.
“Kalau begitu… pakai ini. Gunakan sebagai jangkar.”
Kaen menatap jam itu—jam yang dulu ia buat dari pecahan waktu, yang kini dipenuhi cinta putrinya.
> Ia menggenggamnya.
Dan cahaya dari jam itu…
membentuk jalur ke luar.
---
Mereka berlari.
Retakan mengejar. Suara detik berdentum seperti genderang perang.
Tepat saat cahaya portal mulai mengecil, Savana mendorong tubuh Kaen melewatinya.
Lalu… dunia berguncang.
---
Ketika Savana membuka mata, ia sudah di pelataran observatorium. Reina menangis lega. Rania—dengan wajah panik—menghambur memeluknya.
Dan di balik mereka…
> Kaen berdiri.
Terengah.
Tapi nyata.
Hidup.
Rania tertegun.
“Kaen…”
Lelaki itu menatapnya, dan berkata,
> “Aku kembali…
karena kalian tak pernah berhenti percaya bahwa aku pantas untuk diingat.”