Pagi di Auralis berjalan lambat.
Langit tak berubah warna seperti biasanya. Udara terasa lebih sunyi, seolah waktu enggan bergerak setelah malam panjang di Puncak Tanpa Bayangan.
Rania berdiri di balkon, menggenggam bunga waktu merah yang dibawa pulang.
> Bunga itu mekar perlahan.
Kelopaknya transparan seperti kaca, tapi hangat saat disentuh.
Di dalamnya… berdenyut cahaya kenangan.
---
Savana duduk di kursi taman, menatap jam kecil peninggalan Kaen yang kini berdetak kembali.
“Kalau Ayah bisa datang lewat detik ke-23… mungkin aku bisa menemukan jalannya kembali,” gumamnya.
Reina menghampirinya. “Kekuatanmu berkembang, Savana. Tapi kamu harus tahu… melihat masa lalu dan masa depan bukanlah hal yang ringan. Kadang, yang kamu lihat… belum tentu bisa diubah.”
Savana menatap Reina. “Aku siap. Karena waktu bukan lagi tentang benar atau salah. Tapi tentang… menyelamatkan mereka yang tersisa.”
---
Di dalam kamar Rania, bunga waktu merah tiba-tiba bersinar.
Ia meletakkannya di atas meja kristal.
Dan saat cahaya bunga menyentuh permukaan kaca…
> Ruangan berubah.
Waktu berputar.
Dan Rania kembali ke masa yang bahkan telah ia kubur dalam pikirannya.
---
Belasan tahun lalu.
Dunia biasa. Sebelum Auralis. Sebelum istana. Sebelum takdir.
Rania duduk di kafe kecil, dikelilingi hujan. Di depannya—Damar. Pemuda dengan jaket hitam dan tawa yang membuat dunia terasa sederhana.
“Kamu yakin akan ambil beasiswa itu?” tanya Damar. “Itu di luar negeri. Kita mungkin nggak bisa ketemu lagi.”
Rania tersenyum pahit. “Aku harus, Damar. Ini jalan satu-satunya untuk lepas dari semua tekanan hidup di sini.”
Damar menunduk.
“Aku ngerti. Tapi…”
> “Kalau kamu pergi, dan waktu berubah,
…jangan lupakan aku. Bahkan jika kita tak lagi bisa saling ingat.”
---
Rania meneteskan air mata. Kenangan itu terlalu nyata.
Dan ketika waktu kembali ke Auralis, ia terdiam, menggenggam bunga merah itu lebih erat.
“Seseorang yang pernah aku cintai… menungguku, bahkan setelah dilupakan.”
> “Dan seseorang yang sekarang aku cintai…
…harus kutemukan kembali, bahkan jika waktu tak mengizinkannya.”
---
Savana masuk ke kamar, wajahnya tegang.
“Ibu… aku mulai melihat sesuatu.”
“Apa, Nak?”
Savana menunjuk bunga itu. “Bunga itu bukan sekadar dari masa lalu. Ia menyimpan benih masa depan.”
Rania tertegun. “Maksudmu?”
“Ketika aku menyentuhnya tadi pagi… aku melihat diriku. Tapi bukan di sini. Di tempat lain. Dalam perang waktu besar. Di mana dunia-dunia runtuh. Dan aku berdiri sendirian… tanpa Ayah. Tanpa Ibu.”
Rania memeluknya erat.
“Itu hanya kemungkinan, Sayang.”
Savana menggeleng pelan.
> “Tidak, Ibu. Itu adalah masa depan jika kita tidak segera menemukan poros waktu Kaen.”
---
Reina memanggil mereka ke ruang sihir utama.
“Aku meneliti bunga ini. Dan ternyata, ia bukan hanya menyimpan kenangan Damar. Tapi juga berisi pecahan dimensi hilang. Dimensi yang mungkin… menyimpan Kaen.”
Rania terpaku. “Kaen tidak benar-benar hilang?”
Reina mengangguk. “Dia… tersembunyi di Dimensi 0.
Dimensi kosong. Ruang antardetik. Hanya bisa dijangkau oleh orang yang memiliki hubungan darah… dan memori penuh.”
Savana mengepal.
“Kalau begitu, aku akan pergi ke sana.”
---
Malam itu, mereka menyiapkan Portal Bunga—pintu kecil yang dibuka dari inti bunga waktu merah, dipadukan dengan sihir jam terbalik dan kekuatan darah Savana.
Rania berdiri di sampingnya, wajah tegang.
“Kamu yakin siap, Sayang?”
Savana menatap ibunya.
“Kalau Ayah masih ada, bahkan sebagai gema, aku akan temukan dia.”
Reina menyerahkan gulungan pelacak dimensi.
“Portal hanya akan terbuka selama 5 menit. Setelah itu… kamu akan terjebak di sana kecuali bisa menemukan jejak waktu Kaen.”
Savana mengangguk.
Dan saat ia melangkah ke dalam cahaya merah portal, satu suara menyapanya dari kejauhan.
> “Savana… Eirien… anak waktu…”
> “Aku menunggumu.
Di detik yang tidak bisa diucapkan.”