Langkah kaki mereka bergema lembut di tangga kristal yang melingkar menuju Puncak Tanpa Bayangan—tempat tertinggi Auralis yang tak terjamah cahaya atau kegelapan. Tak ada matahari di sana. Tak ada bulan. Hanya waktu yang diam, menggantung seperti napas yang tak pernah dikeluarkan.
Reina menatap langit dari bawah menara. “Begitu kalian sampai di puncak, jam-jam biasa tak berlaku. Kalian akan masuk ke ‘Zonasi Nol Waktu’. Hanya gema jiwa yang bisa hidup di sana.”
Savana memegang erat lonceng waktu di lehernya, napasnya memburu. “Ibu… kalau ini gagal, Ayah akan tetap hilang, ya?”
Rania menatap lurus ke depan. “Kita tidak akan gagal. Karena yang kita panggil… bukan sekadar sosok.”
> “Tapi cinta. Dan cinta, tidak pernah benar-benar hilang.”
---
Tangga terakhir membawa mereka ke pelataran terbuka, seluas taman kecil.
Di tengah pelataran, berdiri jam tak berdetik—dikenal sebagai Chronos Silentium.
Jam itu terbuat dari batu bulan dan mata waktu, dan memiliki satu kekuatan: menyerap gema cinta yang terlalu kuat untuk mati.
Savana duduk di tengah pelataran, membentangkan lonceng kecilnya. Rania menaruh jam Kaen di tengah-tengah.
Lalu… mereka diam.
Tak ada mantra. Tak ada sihir besar.
Hanya… diam.
> Diam yang dipenuhi kerinduan.
Diam yang mengandung permohonan.
Diam yang… menunggu jawaban.
Dan detik itu…
Chronos Silentium menyala.
---
Dari arah timur pelataran, angin mulai berputar. Gema suara muncul perlahan:
“Jika cinta adalah gema… maka panggillah aku.”
Cahaya hijau muncul, membentuk siluet tubuh.
Langkah kaki mendekat. Tubuh itu perlahan mengeras, menyatu menjadi daging dan napas.
> Kaen.
Dengan pakaian saat terakhir ia hilang, mata pudar tapi bersinar, dan senyum kecil yang sama seperti biasa.
Rania berdiri. Tidak menangis. Tidak berteriak.
Ia hanya memanggil, “Kaen…”
Dan lelaki itu berjalan pelan, menatapnya seolah waktu tak pernah memisahkan mereka.
> “Aku pulang.”
---
Savana memeluk ayahnya erat.
Kaen membelai rambutnya, mencium puncak kepalanya.
“Ayah dengar kamu… di detik ke-23. Terima kasih karena tak berhenti mencariku.”
Savana menahan tangis. “Aku janji akan belajar lebih banyak… agar nanti Ayah bisa kembali lebih lama.”
Kaen tersenyum pada putrinya. Lalu ia menoleh pada Rania.
“Bagaimana kamu bisa sampai di sini?”
Rania menatapnya, langkahnya pelan.
> “Karena aku janji waktu kamu hilang…
Aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu, bahkan saat kamu tak lagi di dunia yang sama denganku.”
Mereka saling menggenggam tangan.
Jam Kaen mulai berdetik. Lonceng Savana bergetar. Tapi tiba-tiba…
Chronos Silentium memunculkan satu gema lain.
> Sosok berjubah merah darah.
Rambut hitam panjang.
Mata hijau yang pernah…
sangat dikenal Rania.
“Rania…”
Rania mematung.
“Damar…”
---
Damar.
Nama yang sudah lama terkubur.
Pemuda dari masa lalu Rania. Yang pernah mencintainya sebelum ia masuk Auralis. Yang… meninggal dalam kecelakaan dimensi waktu pertama—dan dianggap lenyap selamanya.
Tapi sekarang dia di sana.
Dan waktu… menuntut penyelesaian.
---
Kaen menatap Rania.
“Siapa dia?”
Savana melihat Rania, lalu Damar. Waktu menegang. Cahaya menipis.
Rania berjalan pelan ke arah Damar.
“Kenapa kamu muncul sekarang?”
Damar menatapnya dengan wajah lembut. “Karena jiwaku juga menunggu di Puncak ini, Rania. Aku belum bisa tenang karena… kamu belum pernah benar-benar melepas aku.”
Kaen menunduk. “Jadi aku… bukan yang pertama?”
Rania menggenggam lengan Damar. “Kamu adalah yang pernah menyelamatkanku dari kehancuran. Tapi Kaen… yang mengajarkanku hidup lagi.”
Damar tersenyum. “Itu cukup bagiku.”
Lalu ia menatap Kaen. “Tolong jaga dia. Aku sudah terlalu lama menjadi gema tanpa arah.”
---
Damar perlahan memudar, meninggalkan bunga waktu merah di tempatnya berdiri.
Savana memungutnya. Bunga itu tak pernah ada di Auralis sebelumnya.
Dan ketika Kaen hendak bicara lagi…
Chronos Silentium berdetak.
Dentang keras. Langit terbuka.
> “Waktu kunjungan telah habis.”
Rania memeluk Kaen.
Kaen menggenggam kedua tangan mereka.
“Aku akan mencoba kembali, dari celah waktu yang tersisa. Tapi kalau tidak…”
Rania mengecup keningnya. “Aku akan menunggumu. Di setiap detik ke-23.”
---
Dan Kaen… menghilang.
Tapi tidak sepenuhnya.
Karena di tangan Rania, jam kecilnya kini berdetak maju kembali.
Dan Savana melihat bunga waktu merah itu mulai berkembang.
Gema cinta… tidak sepenuhnya hilang.
> Hanya butuh waktu… untuk pulang.