Auralis kembali bernafas.
Langit kini perlahan menampakkan aurora waktu yang bergerak lembut, dan menara-menara sihir kembali menyala seperti sedia kala. Rakyat mulai tersenyum, dan para penjaga waktu kembali melayani dengan tertib.
Tapi di langit, di antara dua bintang penunjuk waktu...
> Ada retakan tipis yang belum sepenuhnya tertutup.
Seperti goresan pada kaca—nyaris tak terlihat, tapi… nyata.
---
Di ruang pribadi mereka, Kaen duduk di tepi tempat tidur sambil memandang Rania yang tertidur lelah. Ia menggenggam tangan istrinya dengan penuh rasa syukur—karena Rania tetap kembali, meski dengan sebagian kenangan yang hilang.
Savana masuk perlahan, membisik, “Ayah… aku boleh bicara?”
Kaen menoleh dan tersenyum, mengusap rambut peraknya. “Tentu. Duduklah.”
Savana duduk di sebelahnya, lalu menggenggam tangan kecilnya di atas dadanya.
“Aku mendengar suara lagi tadi malam… bukan suara mimpi seperti dulu. Tapi suara dari retakan langit.”
Kaen menegang. “Apa yang dia katakan?”
Savana menatap ayahnya dengan mata perak yang tenang, tapi tajam.
> “‘Eirien... saatmu kembali akan tiba. Pewaris Keenam tidak bisa tinggal di dunia keempat selamanya.’”
“Dia memanggilku… dengan nama lain, Ayah.”
Kaen menarik napas panjang.
“Eirien… itu bukan nama biasa. Nama itu pernah tertulis di gulungan retakan dimensi, sebagai nama yang akan muncul saat dimensi keenam sepenuhnya bangkit.”
---
Hari itu, Kaen membawa Savana menemui Reina di ruang arsip dimensi.
Reina, yang sudah setengah malam membaca ulang simbol-simbol kuno, langsung menunjukkan sesuatu pada mereka.
“Lihat ini… gulungan ‘Isyarat Dimensi Keenam’. Ini ditulis oleh Altherion—Penjaga Dimensi Pertama yang hilang seribu tahun lalu.”
Ia menunjuk pada bagian tengah teks:
> ‘Dan bila dunia keenam pecah, akan lahir seorang anak dari dua jiwa.
Ia akan menyandang dua nama: satu sebagai warisan kasih, satu sebagai warisan waktu.’
“Warisan kasih,” gumam Kaen. “Itu Savana…”
Reina mengangguk. “Dan ‘warisan waktu’... adalah Eirien.”
---
Rania terbangun malam itu, dan menemukan Savana duduk di lantai kamarnya, memandangi langit dari jendela.
Ia menghampiri pelan. “Savana, kenapa belum tidur?”
Savana menoleh. “Ibu… aku tahu sekarang kenapa aku merasa aneh saat kecil.”
Rania duduk di sampingnya, mengelus rambutnya.
“Aku bisa mendengar suara yang tidak semua orang dengar. Suara yang bilang kalau aku bukan cuma anak kecil. Tapi... penyatu waktu.”
Rania terdiam. Lalu memeluk anaknya erat.
> “Siapapun kamu… kamu tetap anak Ibu.
Savana, Eirien, atau nama apapun—kamu adalah bagian dari hatiku.”
Savana memejamkan mata dalam pelukan ibunya.
Tapi di luar, retakan di langit mulai melebar.
---
Keesokan harinya, para penjaga waktu melaporkan hal aneh.
Salah satu jam utama di Menara Khatulistiwa Waktu menunjukkan waktu mundur dua jam tanpa sebab. Beberapa bunga waktu mekar seminggu lebih cepat. Anak-anak bermimpi tentang masa depan mereka—dan bangun dengan pengetahuan yang belum pernah diajarkan.
“Ini efek gelombang dari Pintu Keenam,” kata Reina saat menghadap Kaen dan Rania. “Kalau retakan itu terbuka sepenuhnya… semua hukum waktu akan runtuh.”
Kaen menatap Rania. “Kita harus menutupnya sebelum anak kita… tertarik masuk lagi.”
Reina tampak ragu. “Atau… kita harus membiarkan Eirien bangkit sepenuhnya. Karena hanya dia yang bisa menutup pintu… dari dalam.”
Rania menggenggam tangan Kaen.
“Kalau itu jalannya… maka kita harus menyiapkan Savana untuk menghadapi siapa dirinya.”
---
Malam itu, Savana berdiri di halaman belakang istana.
Sendiri.
Retakan langit berkilau. Dan dari dalamnya, cahaya hijau membentuk sosok perempuan berjubah kristal, tak menyentuh tanah.
“Eirien…”
Savana menatap sosok itu tanpa gentar.
“Siapa kamu?”
“Aku adalah penjaga terakhir dari Dimensi Keenam.
Dan kamu… adalah penerusku.”
> “Karena kamu adalah waktu yang dicintai…
…dan juga waktu yang ditolak.”
Savana menatap langit.
Dan untuk pertama kalinya…
> Ia menjawab suara itu.
> “Kalau aku memang pewarismu…
Maka ajari aku cara menyelamatkan dunia, bukan menghancurkannya.”