Kilatan hijau menyambar langit Auralis ketika Rania dan Savana keluar dari portal Dimensi Keenam.
Tapi… yang menyambut mereka bukan pagi seperti saat mereka pergi.
Melainkan malam gelap tanpa bintang.
Istana Waktu berdiri seperti siluet mati, dan tidak ada penjaga yang terlihat. Udara terasa dingin… terlalu dingin.
Savana memeluk lengan ibunya. “Ibu… kenapa sepi?”
Rania menggenggam erat tangan anaknya. Matanya menyapu langit: aurora waktu yang biasanya mengalun… kini membeku di langit seperti lukisan kaku.
> Mereka telah kembali.
Tapi tidak pada waktu yang tepat.
---
Beberapa jam setelah berjalan menyusuri lorong istana yang kosong, mereka tiba di ruang observasi dimensi. Di sana—berdiri seseorang yang mereka kenal.
“Reina!” Rania setengah berlari.
Reina menoleh dengan ekspresi kaget, lalu langsung memeluk Rania dan Savana erat-erat.
“Kalian kembali…” bisiknya penuh haru. “Tapi waktumu… meleset. Sudah lima bulan sejak kalian menghilang.”
Savana menatap ibunya dengan cemas. “Tapi di Dimensi Keenam hanya dua hari…”
Reina mengangguk. “Waktu di sini mulai berantakan sejak kamu pergi, Savana. Bahkan Kaen…”
Rania segera bertanya, panik, “Kaen kenapa?!”
Reina menghela napas. “Dia pergi ke Menara Tertua tiga hari lalu… karena waktu tubuhnya mulai berbalik perlahan. Dia bilang akan mencari naskah kuno yang mungkin bisa menyelamatkanmu.”
Rania mengepal. “Dia pergi sendiri?”
“Dia memaksa. Tak ingin siapa pun ikut jika hal buruk terjadi.”
---
Mereka tak menunggu lama.
Malam itu juga, Rania dan Savana pergi menuju Menara Tertua—tempat tertua di Auralis yang tidak pernah bisa dimasuki siapa pun… kecuali mereka yang membawa waktu dalam darahnya.
Tangga menuju menara dipenuhi batu-batu yang berdenyut seperti jantung. Setiap langkah, kenangan dari masa lalu muncul di sekeliling: Kaen muda, pernikahan Rania, tangisan pertama Savana.
> Tapi juga kenangan buruk:
Saat Rania kehilangan ingatannya.
Saat Kaen hampir dilupakan oleh dunia.
Saat Sarin muncul di antara retakan waktu.
Savana mendekat ke ibunya, memegang erat jubahnya. “Ibu… kenangan ini hidup.”
“Menara ini dibangun dari memori yang ditolak. Hati-hati… mereka bisa menyesatkanmu.”
---
Di puncak menara, mereka menemukannya.
Kaen.
Tapi… bukan seperti yang mereka kenal.
Wajahnya penuh retakan cahaya. Tubuhnya setengah transparan. Matanya kosong, tapi tenang.
“Kaen!!” Rania berlari.
Kaen menoleh. Senyum kecil tergambar di wajahnya. “Kalian akhirnya datang…”
Savana menahan tangis. “Ayah…”
Kaen mengangguk pelan. “Waktu tubuhku mulai menghilang. Tapi aku berhasil membuka gulungan kuno ini…”
Ia menyerahkan sebuah lembaran berkilau, bertuliskan simbol-simbol waktu yang aneh.
“Ini gulungan Asyqar Era. Tertulis bahwa Anak Waktu adalah… jembatan dan pemisah. Jika dia terlalu lama tinggal di dimensi yang bukan miliknya, waktu akan memilih… siapa yang harus hilang sebagai penyeimbang.”
Rania menatap suaminya, tubuhnya mulai gemetar. “Apa maksudnya?”
Kaen menatap Savana, lalu Rania.
> “Seseorang harus hilang… agar waktu tetap berjalan.”
“Entah Savana… atau aku.”
---
Savana menangis. “Tidak!! Ayah nggak boleh pergi!”
Rania menatap Kaen penuh air mata. “Ada cara lain. Selalu ada.”
Kaen menggenggam tangan mereka berdua.
> “Kalau kamu percaya pada waktu… maka waktumu akan percaya padamu.”
“Tapi jika kamu ingin menentang takdir, kamu harus siap menanggung harga.”
Rania menatap gulungan, membaca tulisan kuno itu sendiri.
Di sana tertulis satu kalimat:
> "Jika cinta yang lahir dari waktu bersedia mengorbankan ingatan terdalamnya sekali lagi, maka waktu akan membentuk jalan baru tanpa harus kehilangan siapa pun."
Rania menatap Kaen.
> “Kalau aku melupakan momen ketika Savana lahir…
…maka Savana bisa tetap hidup, dan kamu tetap di sisiku.”
Savana menjerit. “Jangan, Ibu! Jangan lupa aku!”
Rania memeluk anaknya.
> “Bukan lupa kamu…
Tapi lupa rasa pertama melihatmu.
Agar kamu bisa terus tumbuh, bahkan jika aku tak mengingat tatapan pertama itu.”
Kaen memegang kedua tangan mereka.
“Rania… kalau kamu lakukan ini… kamu akan kehilangan bagian terdalam dari dirimu sebagai seorang ibu.”
Rania menatap mereka berdua, lalu menatap langit yang mulai berubah lagi.
> “Tak ada harga yang terlalu besar… untuk cinta yang ingin tetap tumbuh.”
---
Ritual dimulai.
Di tengah Menara Tertua, Rania berdiri dalam lingkaran cahaya. Gulungan Asyqar terbuka di sekelilingnya. Savana dan Kaen berada di luar lingkaran, berdoa dalam diam.
Satu demi satu, kenangan kecil mulai lepas dari tubuh Rania: suara tangis bayi, senyum pertama Savana, tangan mungil yang menggenggam jarinya.
Air mata mengalir, tapi ia tidak menjerit.
> Karena ia tahu… kenangan itu tidak hilang.
Hanya dititipkan pada waktu.
Dan saat cahaya terakhir meledak…
Langit Auralis kembali normal.
Waktu mulai mengalir lembut.
Dan tubuh Kaen… kembali utuh.
---
Rania terjatuh lemah, tapi Kaen segera menangkapnya.
Savana memeluk ibunya.
“Ibu… apa Ibu masih ingat aku?”
Rania menatap mata perak itu.
> “Tidak semuanya…”
“Tapi hatiku tahu… kamu bagian dari jiwaku.”
Savana tersenyum sambil menangis.
Dan Kaen mencium kening istrinya.
> Mereka mungkin kehilangan sedikit kenangan…
Tapi mereka memenangkan waktu.