Cahaya pagi menyusup dari sela dedaunan, menimpa rerumputan lembap yang masih menyimpan sisa embun malam. Reina terbangun dengan napas tersentak dan gerakan refleks yang nyaris melepaskan pukulan.
Tangannya hampir menghantam wajah Bhirendra, yang justru hanya berniat menyentuh lengannya dengan lembut untuk membangunkannya. Keduanya terdiam. Mata mereka bertemu. Radeeva yang sedang mengelus kudanya di kejauhan sontak menoleh dengan alis terangkat.
Reina buru-buru menarik diri, membenahi posisi duduknya sambil menunduk dalam gugup. Ia mengusap lengan kirinya yang masih terasa hangat, bukan karena sakit, tetapi karena sensasi sengatan halus yang menjalar dari sentuhan tak terduga itu.
"Kau kenapa?" tanya Bhirendra dengan nada menyelidik. Suaranya dalam, seperti menahan kekhawatiran. Pandangannya tertuju ke lengan Reina yang disentuhnya tadi. "Apa aku menyakitimu?"
Radeeva diam di tempat. Tatapannya terpaku pada Reina, lalu bergeser perlahan pada tangan sendiri. Bayangan dari malam sebelumnya masih berkelebat di matanya, cengkramannya yang terlalu kuat, kemarahan yang membutakan. Mungkinkah... ?
Namun Reina menggeleng pelan. Bukan luka yang membuatnya tersentak, bukan pula karena rasa sakit. Ia hanya... tidak terbiasa.
Satu sentuhan tanpa izin bisa terasa seperti tombak menusuk perisai tipis yang susah payah ia bangun selama bertahun-tahun dan Bhirendra, meskipun tidak bermaksud melukai, telah memecahkan sedikit dari ketenangan palsunya.
"Aku tidak apa-apa," kata Reina akhirnya. Suaranya lemah namun tegas. Ia menoleh pada Bhirendra, mencoba mengalihkan perhatian. "Bagaimana denganmu? Apa kau masih merasakan sakit?"
Bhirendra terdiam sejenak. Ia bukan pria yang mudah menunjukkan luka, fisik maupun emosional. Tapi matanya, sedikit suram pagi itu, mengatakan lebih dari sekadar anggukan pelan yang ia berikan.
"Aku... baik," jawabnya pendek.
Reina menatapnya sejenak, lalu tanpa diduga, ia menoleh pada Radeeva. "Dan untuk semalam... terima kasih. Tanpa kau, Bhirendra mungkin tidak bisa bertahan."
Bhirendra menoleh cepat ke arah Radeeva, tak menyangka pujian itu datang. Radeeva hanya mendecih, memutar mata.
"Aku tidak menolongnya," katanya dengan nada datar. "Aku hanya... kasihan padamu."
Reina tersenyum tipis. Bukan karena puas, tapi karena kalimat itu, dalam ketusnya, tetap mengandung niat baik. Dalam bahasa Radeeva, itu bisa dianggap sebagai pengakuan paling jujur dari kepedulian yang tak ingin diakui.
Keheningan menyapa lagi. Namun kali ini bukan keheningan yang mencemaskan, melainkan jeda yang tenang. Seperti tanah yang basah setelah hujan, belum mengering, tapi perlahan menumbuhkan sesuatu.
Perjalanan pun berlanjut. Mereka menunggang kuda melewati hutan lembap yang semakin menipis menuju timur laut Swantara, menuju Talaga Bayang, danau tersembunyi di balik kabut kuno yang disebut-sebut hanya muncul di bawah cahaya dua bulan penuh. Tempat yang katanya bisa memantulkan bukan hanya wajah, tapi juga bayangan jiwa.
Bagi Reina, tempat itu adalah teka-teki berikutnya. Tapi ia tahu, bukan hanya artefak yang menunggunya di sana, melainkan potongan masa lalu yang masih terkunci... dan mungkin, kebenaran tentang dirinya sendiri yang selama ini tersembunyi di balik kabut yang lebih pekat dari sihir mana pun.
---
Beberapa hari berlalu dalam diam yang anehnya terasa damai. Langit Swantara mengalun tenang di bawah dua bulan yang silih berganti mengintip dari balik awan tipis. Kabut hutan mulai menipis, digantikan aroma danau dan tanah lembap yang terasa semakin dekat seiring langkah mereka menuju wilayah timur laut.
Reina dan Radeeva... kembali terlihat akrab. Seolah ledakan emosi dan sisi kelam yang pernah meletup di antara mereka hanyalah bayangan mimpi buruk yang menguap bersama embun pagi. Radeeva kini tak segan berjalan di sisi Reina, terkadang melempar lelucon dingin yang berhasil membuat gadis itu tersenyum kecil. Kadang, diam mereka pun terasa ringan, seperti keheningan dua sahabat yang telah saling memahami luka masing-masing.
Namun tidak bagi Bhirendra. Ia menyadari perubahan itu dengan jelas. Terlalu jelas. Sorot mata Radeeva yang kini lebih lembut pada Reina, cara Reina membalas senyuman Radeeva meski hanya sekilas, atau bagaimana keduanya saling bicara dengan nada yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Lebih dekat, lebih manusiawi.
Ada sesuatu yang tidak ia ketahui. Sesuatu yang terjadi di malam ia tak sadarkan diri.
Bhirendra mengingat samar suara tangis... kehangatan yang memeluknya di ambang hidup dan mati. Apakah itu nyata? Atau sekadar bayangan dari kesadarannya yang mengambang? Ia ingin bertanya, namun tak ada kata yang cukup tepat untuk menebus ketidaktahuannya.
Maka ia hanya mengikuti keduanya dari belakang, menghela napas panjang untuk kesekian kalinya, menahan pertanyaan-pertanyaan yang mengendap dalam diamnya sendiri.
Sore itu, saat mereka berhenti di bawah pohon besar menjelang senja, Radeeva membuka gulungan peta dari sakunya. Sepotong kertas tua bertuliskan tinta sihir yang mengambang di udara apabila mereka membukanya.
"Aku rasa, kita hampir sampai," katanya sambil duduk santai di atas akar yang mencuat dari tanah.
Reina dan Bhirendra mendekat. Peta itu menunjukkan garis kabut samar, dua titik cahaya bulan, dan lingkaran tak kasatmata di tengah danau.
"Artefak berikutnya," lanjut Radeeva, "adalah Cermin Arupa... atau Cermin Dimensi Kenangan." Tatapannya menerawang jauh ke arah kabut tipis di kejauhan.
"Menurut kitab kuno yang pernah kubaca di perpustakaan kerajaan, artefak ini tak dijaga oleh makhluk berdarah atau bertaring. Ia dijaga oleh entitas yang disebut Layantara... arwah tak berwajah."
"Tak berwajah?" Reina mengulang pelan, alisnya berkerut ragu.
Radeeva mengangguk. "Ia bukan makhluk jahat, tapi sangat purba. Ia menunjukkan masa lalu... tapi bukan yang kita cari. Melainkan yang kita hindari."
Reina menggigit bibir bawahnya. Sebuah firasat aneh menyelinap ke dalam dirinya, dingin, namun familiar.
"Tak ada yang tahu apa masa lalu yang akan diperlihatkannya," lanjut Radeeva. "Tapi semua yang melewatinya... tak pernah kembali jadi orang yang sama."
Bhirendra menyipitkan mata. "Dan kau yakin artefaknya ada di Talaga Bayang?"
Radeeva mengerutkan alis, lalu menyapukan telapak tangannya ke udara, peta pun menghilang dalam bias lembut. "Kau boleh meragukanku, tapi jangan ragukan isi kitab itu."
Ia melirik tajam ke arah Bhirendra, lalu menarik Reina menjauh dan duduk bersama di sisi lain api unggun, dengan sengaja menyisakan ruang kosong di antara mereka dan pria itu. Bhirendra, seperti biasa, hanya menampilkan wajah datarnya.
Radeeva berdecih. "Dalam kitab itu disebutkan: danau yang tidak menampilkan air, tapi bayangan. Dikelilingi kabut dan hanya memantulkan dua bulan ketika mereka sejajar. Di Swantara... hanya ada satu tempat seperti itu."
Talaga Bayang. Cermin. Arwah tak berwajah. Masa lalu yang belum diketahui siapa pun.
Reina merapatkan jubahnya. Untuk sesaat, angin senja terasa seperti tangan dingin yang menyusup ke tulangnya, seolah-olah dunia sendiri sedang bersiap menguak sesuatu yang telah lama ia kubur dalam dirinya dan untuk pertama kalinya sejak awal perjalanan, Reina merasa... bahwa tujuan mereka kali ini bukan sekadar menemukan artefak kuno. Melainkan menemukan kembali bagian dari dirinya yang telah lama hilang.