Angin malam menyusup tajam di sela rerumputan, membawa aroma darah, racun, dan keputusasaan. Langit di atas mereka diselimuti awan kelam, menutupi dua bulan yang biasanya menggantung dengan damai. Hanya bias cahaya dari cincin Reina yang tersisa, redup dan bergetar, seakan ikut gentar menghadapi malam yang begitu panjang.
Tubuh Bhirendra terbaring tanpa daya, peluh dingin membasahi dahinya yang pucat. Setiap embusan napasnya bagai desir angin terakhir sebelum hilang. Luka di dadanya menghitam, membusuk dari dalam. Racun itu bukan hanya menyakitkan, ia memakan nyawa perlahan.
Reina bersimpuh di sisinya, kedua tangannya terus menyala dalam mantra penyembuhan yang melemah. Darah mengalir dari hidungnya sendiri akibat sihir yang terlalu dipaksakan. Namun ia tak berhenti. Tak bisa. Tak akan.
“Bhirendra… bertahanlah…,” suaranya nyaris tak terdengar, patah oleh isakan tertahan.
Ia menunduk, peluh, air mata, dan darah bercampur di wajahnya. Dalam benaknya, satu-satunya yang menggaung hanyalah satu kalimat: "Aku tidak cukup kuat."
Dalam pergulatan rasa putus asa itu, tiba-tiba sebuah kehangatan menyentuh pundaknya, tidak seperti api, tapi sebuah asa diatas kata luka.
Radeeva, ia berdiri di belakang Reina. Wajahnya separuh tersembunyi bayangan malam. Tatapannya menusuk, seperti menahan ribuan hal yang tak pernah bisa terucap. Lelah. Marah. Dendam. Tapi… tetap datang.
Reina sontak menoleh dan mundur, naluri pertahanannya muncul begitu saja. Tapi ia juga tahu, Radeeva adalah satu-satunya harapan terakhir.
Tanpa bicara, Radeeva berlutut dan menengadah. Tangan kirinya menempel di dada Bhirendra, sementara tangan kanannya menggambar pola sihir kompleks di udara. Simbol-simbol purba bersinar dari telapak tangannya. Udara sekitar bergetar.
Mantra dilepaskan.
Tubuh Bhirendra terangkat sedikit, lalu menggeliat dalam kejang menyakitkan. Suara kerongkongan kering terdengar sebelum ia memuntahkan cairan hijau kehitaman yang menyala panas dan membakar rumput tempat ia terbaring. Racunnya dipaksa keluar dengan sihir yang menyakitkan keduanya.
Bhirendra pingsan seketika, namun nyawanya terselamatkan. Radeeva terhuyung, lalu jatuh terbaring di samping Reina. Ia menutupi wajahnya dengan lengan, napasnya tersengal.
Reina mendekat dengan hati-hati. Suaranya lirih, tulus, getir. “Terima kasih… Aku tahu… kau masih punya hati, Radeeva.”
Sebuah tawa pendek terdengar, sumbang. “Hati?” katanya sarkastis. Ia menoleh, mata biru itu menjadi lebih gelap, penuh luka dan marah. “Kau benar-benar naif, Reina. Begitu pedulinya kau pada Bhirendra, bahkan saat aku juga mempertaruhkan nyawaku untukmu, untuk misi kita."
"Kau... Menghiba untuk nyawanya seolah dia manusia tanpa cela. Padahal dia…” Suara Radeeva tercekat. Seketika ia bangkit, dan sebelum Reina sempat bereaksi, tangannya mencengkram kedua lengan Reina dengan keras.
“Kau tahu,” bisiknya dengan suara yang dingin namun membara, “apa rasanya menyelamatkan seseorang yang membunuh orang yang paling berarti bagimu?”
Reina membeku. Nafasnya menjadi pendek, tidak stabil.
“Ia membunuh ibu pengasuhku…” bisik Radeeva, suaranya gemetar menahan emosi. “Ia mengoyaknya di depan mataku. Darah di tangannya, Reina. Dan kau… kau justru memohon padaku untuk menyelamatkannya?”
Reina menunduk, menahan takut, mencoba melepaskan cengkeraman Radeeva. Tapi tak bisa. Radeeva menatapnya seperti binatang kecil yang tak bisa lagi membedakan kasih dan jebakan.
“Kalau kau jadi aku… apa kau sanggup memaafkan begitu saja?”
Suasana menjadi mencekam. Dunia seakan mengecil, menyisakan hanya mereka berdua di dalam pusaran emosi yang tak tertata.
“A-aku… aku tidak tahu…” bisik Reina, nyaris menangis, takut, dan gemetar. “Aku hanya tak ingin melihat siapa pun… mati…”
“Kau takut?” Radeeva menyipitkan mata.
Reina tak menjawab. Tangannya bergetar. Namun Radeeva sudah terlalu jauh terseret dalam amarah yang memuncak.
“Apa kau tahu rasanya hidup dalam bayang-bayang orang lain? Selalu dibandingkan? Tak pernah cukup? Apa salahnya aku menjadi diriku?!” Suara Radeeva menggelegar dalam gema ketidakadilan yang memecah malam.
Reina menjerit, “Cukup!”
Dan dari cincinnya, cahaya putih meledak, membentuk pelindung tak kasat mata yang melempar tubuh Radeeva ke belakang. Ia terhempas ke tanah, terbatuk, matanya melebar dalam keterkejutan.
Dalam diam, ia perlahan bangkit, tertawa kecil dengan nada pahit. “Bahkan kau pun… kini menyerangku.”
Reina bergetar, masih menahan air mata. “Aku… aku hanya ingin kau melepaskanku. Cengkeramanmu… terlalu kuat… aku takut.”
Mereka terdiam dalam keheningan yang menggantung, lama setelah ledakan kecil sihir memecah udara. Tak ada yang berbicara. Tak ada yang berani. Bahkan angin pun seperti menahan napas, ragu untuk mengusik ketegangan yang belum sepenuhnya sirna.
Reina duduk bersandar di batang pohon tua yang membungkuk seperti ikut menanggung beban malam. Tubuhnya gemetar, dan di lengannya, cengkeraman Radeeva meninggalkan memar keunguan yang perlahan menjalar. Tapi bukan luka fisik itu yang menyayat. Yang mengoyaknya adalah pusaran pertanyaan, sunyi, dalam, tanpa jawaban.
Kenapa aku?
Kenapa aku yang harus melihat sisi tergelap dari pria yang selama ini hanya tampak tenang dan tersenyum?
Kenapa harus aku yang diapit di antara dua luka yang bukan milikku?
Di seberang, Radeeva bersandar pada batu besar yang dingin, napasnya masih berat. Wajahnya kosong, seperti menatap sesuatu yang tak kasatmata di langit malam. Dua bulan tergantung pucat di atas sana, menyaksikan kejatuhan dan pengakuan yang tak pernah diminta.
Amarah telah sirna dari rautnya. Yang tersisa hanya lelah. Dan sisa-sisa rasa bersalah yang bahkan tak sanggup ia akui.
“Maaf…” suara Reina pelan, nyaris tak terdengar. Seperti gumaman yang ia sendiri ragu untuk ucapkan. Tapi cukup untuk membuat Radeeva menoleh, perlahan.
“Aku tak tahu semua yang telah terjadi padamu,” lanjutnya, masih memeluk dirinya sendiri. “Tentang masa lalu, tentang luka yang kau simpan sendirian selama ini. Aku tak tahu Bhirendra pernah melukai seseorang yang begitu berarti bagimu… Tapi aku tahu, tak seharusnya aku menyeretmu lebih dalam ke dalam dendam yang belum sembuh.”
Radeeva tetap diam. Matanya terpejam, napasnya ditarik panjang. Tapi di wajahnya, untuk pertama kali sejak malam itu dimulai, terlihat sesuatu yang menyerupai… pengakuan diam-diam.
“Aku hanya ingin kau tahu,” bisik Reina, “kalian berdua… bukan hanya sekadar sekutu atau pengawal. Kalian adalah bagian dari dunia baruku. Aku peduli pada kalian… pada Bhirendra… dan juga padamu.”
Diam itu patah oleh desahan panjang dari Radeeva. Ia mendongak, dan untuk sesaat, matanya tidak lagi menyimpan api. Hanya abu, sisa kebakaran yang telah lama menyala.
“Aku tak pernah berniat menyakitimu, Reina,” ujarnya akhirnya, pelan. “Aku hanya… tak tahu bagaimana caranya menyimpan dendam dan kebaikan dalam satu hati yang sama. Aku kira, jika aku membenci cukup dalam, maka rasa kehilangan itu akan hilang bersamanya.”
Reina perlahan menoleh, menatap lelaki itu. Matanya jernih, meski masih berkaca-kaca. Suaranya lembut, tapi tegas.
“Luka tidak akan pergi hanya karena membenci,” ucapnya. “Kadang, justru karena kita menyimpannya sendirian terlalu lama. Tapi kau… kau tidak sendiri, Radeeva. Tidak lagi.”
Kata-kata itu sederhana, tapi utuh. Menembus pertahanan yang selama ini dijaga rapat oleh Radeeva. Ia menunduk, tangan menutup sebagian wajahnya. Bahunya bergetar pelan. Entah karena amarah yang baru saja padam, kelelahan yang tak terbendung, atau… karena untuk pertama kalinya sejak luka itu tercipta, ada seseorang yang benar-benar melihat dirinya. Bukan peran. Bukan posisi. Bukan kekuatan atau kelemahan.
Tapi dirinya sendiri. Sebagai Radeeva. Manusia yang terluka.
Keheningan yang menyusul bukan lagi keheningan yang menyesakkan. Tapi sesuatu yang rapuh, yang memberi ruang untuk bernapas, meski masih perih. Di sana mereka duduk, dua jiwa yang porak-poranda, di sisi tubuh Bhirendra yang terbaring tak sadar, tetapi kini terselamatkan oleh pertemuan dua luka yang saling membuka.
Malam itu tak membawa pengampunan.
Namun mungkin, ia menghadirkan pengertian dan kadang… itu adalah awal dari penyembuhan yang lebih nyata daripada sekadar sihir.