Ususku dicobak-cabik oleh aroma makanan,
Aku keluar berlarian, menyembunyikan bunyi perut yang sudah blingsatan.
Sarapan pagi ini adalah bubur ayam,
Dengan kuah yang berkabung.
Untungnya asam lambung tak naik pitam.
Ahh
Rasanya, laparku akan segera rampung.
Sungguh mulia bapak itu, dia menghancurkan cecunguk-cecunguk brutal dalam perutku.
.
Lalu, sambil kumakan sendok demi sendok bubur itu, kami berbincang cukup asyik. Sosok ayah yang baik bagi isteri dan anak-anaknya. Meski berdarah-darah dibuatnya, Bapak itu enggan mengumpulkan traumanya dalam wadah penampungan. Beliau tak mau mengemasnya per pelastik kiloan ketika orang lain datang, baik pria maupun wanita. Beliau lebih pandai dari tupai, meski tupai akan terjatuh juga, Beliau paham betul kapan waktu untuk berhenti, lalu meminta pertolongan tanpa gengsi. Beliau adalah hasil dari keruntuhan pribadinya berkali-kali. Beliau berobat sendiri tanpa menunjukkan luka dalamnya pada sekitar, bahkan anak beliau dan isterinya mengecam keras untuk tidak menemuinya sama sekali. Pun ketika Beliau sedang runtuh, tak ada uluran tangan kasih dari mereka sebagaimana mestinya dalam suatu ikatan keluarga. Dan akhirnya, Beliau berjalan meski kakinya buntung. Tak perduli aspal mengikis kakinya sampai menembus tulang, meskipun jejak darahnya amat mentereng. Beliau bangkit dan menemukan seseorang. Orang itu berjalan dengan dua tongkat, lalu mereka berbincang atas kehidupan mereka yang harus selalu dipertaruhkan.
"Cukup rumit sekali" dalam hatiku bicara.
...
"BERSAMBUNG"