Bukan Lagi Sekadar Chat
Sudah seminggu sejak pertama kali mereka ngobrol langsung di café itu.
Dan sejak saat itu, Reyhan selalu duduk di meja yang sama setiap malam — menunggu Rania datang. Kadang ngobrol panjang, kadang cuma saling diam sambil minum kopi.
Tapi diam pun terasa cukup.
“Aku ngerasa... aneh banget,” kata Rania malam itu, tangannya melingkari gelas hangat.
“Aneh kenapa?” tanya Reyhan, duduk santai dengan hoodie abu-abunya.
“Soalnya biasanya kita ngobrol lewat layar. Sekarang lihat muka kamu langsung tuh…”
Dia berhenti.
“…rasanya kayak nyoba nonton film, tapi udah baca novelnya duluan. Jadi deg-degan takut kecewa.”
Reyhan tertawa kecil. “Dan kamu kecewa?”
Rania melirik. “Nggak juga. Cuma... butuh adaptasi.”
Reyhan mengangguk pelan.
“Gue juga.”
Hening sebentar. Tapi hening yang nyaman.
Sampai akhirnya Rania bertanya, “Lo kerja di sini full-time?”
Reyhan mengangguk. “Dari sore sampai tutup. Gue juga kuliah sih, kelas malam. Tapi kerja di sini biar bisa bayar sendiri semuanya. Gue nggak terlalu suka ngerepotin siapa pun.”
“Hebat,” gumam Rania, tulus.
Tapi entah kenapa, sejak tahu Reyhan bukan cuma Echo anonim yang bisa menulis indah, tapi juga seseorang yang kerja keras dan diam-diam mengagumi dari jauh... perasaan Rania justru mulai takut.
Bukan karena kecewa.
Tapi karena sekarang, ada harapan nyata.
Dan harapan itu... bisa patah sewaktu-waktu.
Di sisi lain, Reyhan juga menyimpan keresahan.
Setiap kali dia melihat Rania tertawa atau menunduk karena malu, dia semakin yakin satu hal:
Dia nggak ingin semua ini cuma sementara.
Tapi dia juga sadar...
Dunia Rania dan dunia dia berbeda.
Rania anak kuliahan dari keluarga cukup berada. Sementara dia… ya, barista yang kadang harus milih antara makan atau bayar bensin.
Dan semakin dekat mereka,
semakin besar ketakutan itu:
Rania mungkin pantas untuk seseorang yang lebih dari sekadar Echo.
Malam itu, saat mereka berpisah, Reyhan mengantar Rania sampai ke luar café.
"Besok... kita ketemu lagi, kan?" tanya Reyhan pelan.
Rania menatapnya, lama.
"Iya," jawabnya.
"Tapi... Reyhan, kalau suatu saat aku berubah… atau kamu berubah…"
Reyhan langsung memotong, senyum kecil tersungging.
"Gue nggak janji bisa jadi sempurna. Tapi selama kamu nggak nyuruh gue pergi... gue bakal tetap duduk di meja itu, tiap malam."
Dan Rania pun hanya bisa mengangguk.
Karena untuk saat ini… itu lebih dari cukup.