Cherreads

Harmoni yang Pecah

Rahayu_8845
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
540
Views
Synopsis
Arjuna, seorang pianis muda berbakat yang bercita-cita melanjutkan pendidikan musiknya di luar negeri, harus menghadapi kenyataan pahit saat ibunya didiagnosis mengidap penyakit kronis yang membutuhkan biaya pengobatan tak terhingga. Mimpi Arjuna seolah hancur dalam sekejap.
VIEW MORE

Chapter 1 - Harmoni yang Pecah

Not-not yang Memudar

Jari-jari Arjuna menari di atas tuts piano, melahirkan melodi yang rumit namun indah. Alunan Nocturne Chopin memenuhi ruang studio musik yang sederhana, setiap not adalah bagian dari jiwanya, setiap harmoni adalah jembatan menuju mimpinya: beasiswa ke sekolah musik bergengsi di Berlin. Ia memejamkan mata, merasakan getaran tuts di bawah jemarinya, membayangkan tepuk tangan di aula konser yang megah. Musik adalah napasnya, dan beasiswa itu adalah satu-satunya jalan keluar dari gang sempit dan rumah kontrakan kecil tempat ia tinggal bersama ibunya.

"Arjuna, Ibu sudah siapkan makan siang!" Suara lembut ibunya, Bunda Maya, terdengar dari ambang pintu.

Arjuna tersenyum, membuka matanya. Ibunya berdiri di sana, kurus namun tatapan matanya selalu memancarkan kehangatan. Ia adalah satu-satunya keluarga yang Arjuna miliki. Sejak ayahnya meninggal lima tahun lalu, Bunda Maya bekerja keras sebagai penjahit untuk membiayai mereka. Arjuna tahu betapa berat pengorbanan ibunya.

"Sebentar lagi, Bu," jawab Arjuna, lalu memainkan bagian terakhir dengan sedikit improvisasi. Ia bangkit, mendekati ibunya, dan mencium kening wanita itu. "Bagaimana hari ini, Bu? Sehat?"

Bunda Maya tersenyum tipis, namun Arjuna menangkap sekilas kerutan di dahi ibunya. "Baik, Nak. Kamu jangan terlalu lelah berlatih, ya."

Mereka makan siang bersama di meja kecil. Udang goreng asam manis, masakan favorit Arjuna. Obrolan mereka ringan, tentang latihan piano Arjuna, tentang jahitan baru yang harus diselesaikan ibunya. Arjuna merasa damai. Ia yakin, sebentar lagi, semua pengorbanan ini akan terbayar. Surat pengumuman beasiswa akan datang, ia akan terbang ke Berlin, menjadi pianis kelas dunia, dan membawa ibunya keluar dari kehidupan sulit ini.

Namun, kedamaian itu pecah seminggu kemudian.

Arjuna sedang asyik berlatih saat telepon berdering. Dari rumah sakit. Dokter menjelaskan bahwa Bunda Maya sudah sering pingsan di tempat kerja. Dan hasil pemeriksaan... menunjukkan penyakit ginjal kronis yang sudah stadium lanjut. Butuh cuci darah rutin, dan kalau bisa, transplantasi ginjal secepatnya. Biayanya... tidak terhingga.

Dunia Arjuna runtuh. Not-not di piano seolah memudar, menjadi kehampaan yang memekakkan. Impian Berlin, panggung konser, tepuk tangan penonton... semua itu lenyap, digantikan oleh bayangan rumah sakit, jarum infus, dan tagihan yang tak terbayangkan. Ia menatap ibunya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat pasi.

"Ibu akan baik-baik saja, Nak," bisik Bunda Maya, mencoba tersenyum.

Namun, Arjuna tahu itu bohong. Ia menatap telapak tangannya. Tangan yang seharusnya memainkan melodi indah di panggung, kini terasa lumpuh oleh beban yang begitu berat. Bagaimana ia bisa membayar semua ini? Bagaimana ia bisa menyelamatkan ibunya, sementara mimpinya sendiri kini terkapar di lantai, hancur berkeping-keping? Di tengah ruangan yang steril dan dingin, Arjuna merasakan sakit yang begitu menusuk, lebih dari sekadar perih, ini adalah kehancuran jiwa.

Minggu-minggu berikutnya adalah neraka bagi Arjuna. Ia menghabiskan hari-harinya di antara rumah sakit dan pekerjaan serabutan yang bisa ia dapatkan. Mengajar les piano privat, bermain musik di kafe-kafe kecil dengan bayaran pas-pasan, hingga sesekali menjadi pengamen jalanan. Tangannya yang dulu hanya terbiasa menyentuh tuts piano mahal, kini harus memegang sapu atau mengangkut barang. Mimpi beasiswa Berlin terasa semakin jauh, tertutup kabut tebal tagihan rumah sakit yang terus menumpuk.

Setiap malam, ia akan kembali ke rumah sakit, duduk di samping ranjang ibunya, menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur yang dulu ibunya nyanyikan untuknya. Bunda Maya semakin lemah, seringkali tertidur lelap karena efek obat. Melihat ibunya seperti itu, hati Arjuna perih tak terkira.

Suatu sore, saat Arjuna sedang berjalan lesu setelah ditolak dari pekerjaan part-time di sebuah toko buku, ia melewati sebuah toko bunga kecil yang memancarkan aroma harum menenangkan. Papan namanya sederhana: "Kinara's Blooms." Di sana, di antara deretan pot bunga berwarna-warni, ada seorang gadis yang sedang menyirami bunga mawar dengan riang. Ia mengenakan apron kanvas yang sedikit kotor, rambutnya diikat longgar, dan di telinganya terselip pensil kecil.

Gadis itu menoleh, dan senyum cerah langsung terukir di wajahnya saat matanya berpapasan dengan Arjuna. Senyum itu, di tengah kegelapan yang Arjuna rasakan, seolah menjadi satu-satunya titik terang.

"Selamat sore!" sapanya ramah. "Mampir, Kak? Barangkali mau beli bunga untuk orang tersayang?"

Arjuna menggeleng pelan, senyum tipis terukir di bibirnya. "Nggak, makasih. Cuma lewat."

"Oh, Sayang sekali," kata gadis itu, namun senyumnya tidak memudar. Ia menunjuk vas bunga kecil di etalase. "Mungkin ini bisa bikin hari Kakak sedikit lebih cerah. Namanya Forget-Me-Not, bunganya kecil, tapi artinya besar."

Arjuna menatap bunga ungu kecil itu. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu dalam aura gadis itu yang membuatnya sedikit rileks. "Namaku Arjuna."

"Aku Kinara!" Gadis itu mengulurkan tangannya, tangannya terasa hangat dan lembut. "Pemilik toko ini."

Sejak hari itu, Arjuna sering mampir ke toko bunga Kinara. Kadang hanya untuk membeli setangkai bunga Forget-Me-Not untuk ibunya, kadang hanya untuk duduk di bangku di luar toko, menikmati aroma bunga dan melupakan sejenak beban hidupnya. Kinara tidak banyak bertanya, ia hanya selalu menyambut Arjuna dengan senyum cerah dan obrolan ringan tentang bunga, cuaca, atau hal-hal sepele lainnya. Kehadiran Kinara, seperti terapi aroma, perlahan mulai meredakan sedikit demi sedikit kesedihan Arjuna.

Namun, di balik senyum cerianya, Kinara juga menyimpan luka. Setiap kali Arjuna bercerita sedikit tentang perjuangan hidupnya, Kinara akan menatapnya dengan pandangan yang dalam, seolah ia mengerti rasa sakit itu. Arjuna tidak tahu, senyum hangat Kinara adalah topeng sempurna untuk menyembunyikan masa lalu yang pahit, masa lalu yang membuatnya percaya bahwa ia harus selalu ceria dan kuat demi orang lain.

Kinara perlahan menjadi sandaran tak terduga bagi Arjuna. Di toko bunga, di antara kelopak-kelopak yang harum, Arjuna bisa sedikit membuka diri. Ia bercerita tentang ibunya, tentang mimpinya sebagai pianis yang kini terancam. Kinara mendengarkan dengan sabar, kadang hanya mengangguk, kadang memberikan kata-kata penguatan yang sederhana namun tulus.

"Kadang, kita harus melepaskan satu mimpi untuk mengejar yang lain," kata Kinara suatu hari, saat Arjuna terlihat sangat putus asa. Ia sedang memotong tangkai bunga mawar, matanya fokus pada pekerjaannya. "Tapi bukan berarti mimpi itu hilang. Mungkin dia hanya berubah bentuk."

Kata-kata Kinara seperti tetesan embun di hati Arjuna yang kering. Ia tidak pernah berpikir seperti itu. Namun, beban finansial tetap menghantuinya. Biaya pengobatan ibunya semakin membengkak, dan pekerjaan serabutan tidak cukup.

"Aku harus cari uang lebih banyak lagi, Kinara," kata Arjuna suatu sore, suaranya putus asa. "Tapi aku nggak tahu harus gimana lagi."

Kinara terdiam sejenak. Ia meletakkan guntingnya, lalu menatap Arjuna. "Kak Arjuna kan jago main piano. Kenapa nggak coba cari pekerjaan di sana?"

"Sudah," Arjuna menggeleng. "Kafe-kafe kecil bayarannya sedikit. Aku butuh lebih."

"Gimana kalau... Kak Arjuna main di tempat yang lebih besar?" Kinara tersenyum penuh ide. "Seperti mal, atau restoran mewah?"

Arjuna mengerutkan kening. "Apa bisa?"

"Tentu saja!" Kinara tampak bersemangat. "Aku punya kenalan. Dia manajer restoran yang lumayan besar. Aku bisa coba bantu Kak Arjuna."

Arjuna menatap Kinara, merasakan secercah harapan. Ini adalah pertama kalinya seseorang benar-benar menawarkan bantuan nyata, bukan hanya simpati.

Keesokan harinya, berkat bantuan Kinara, Arjuna mendapat kesempatan audisi di sebuah restoran mewah. Ia memainkan komposisinya sendiri, sebuah melodi yang ia ciptakan di tengah keputusasaan, yang kini dipenuhi oleh harapan baru. Jari-jarinya menari di tuts piano, membiarkan emosinya mengalir. Manajer restoran terkesan. Arjuna diterima.

Malam itu, setelah bermain di restoran, Arjuna datang ke toko Kinara. "Aku diterima, Kinara!" katanya, senyum lebar terukir di wajahnya, senyum yang sudah lama tidak ia tunjukkan.

Kinara ikut tersenyum, matanya berbinar. "Syukurlah! Aku tahu Kak Arjuna pasti bisa."

"Ini semua berkat kamu," kata Arjuna tulus. Ia menatap Kinara, gadis dengan senyum secerah matahari, yang kini telah menjadi pahlawan tak terduga baginya. Ia merasakan ada sesuatu yang tumbuh di hatinya, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa terima kasih. Sebuah melodi baru, yang lebih hangat dan penuh warna, mulai mengalun dalam kehidupannya. Namun, ia tidak tahu, melodi itu akan mengantarnya pada sebuah rahasia yang tersembunyi jauh di balik senyum Kinara.

Kehidupan Arjuna perlahan membaik. Ia bekerja keras di restoran, menabung setiap sen untuk biaya pengobatan ibunya. Bunda Maya menunjukkan sedikit kemajuan, dan itu memberi Arjuna kekuatan. Di sisi lain, hubungannya dengan Kinara semakin erat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama setelah jam kerja, berbicara tentang impian, ketakutan, dan masa lalu masing-masing. Kinara selalu menjadi pendengar yang baik, dan Arjuna merasa nyaman di dekatnya. Ia mulai menyadari, perasaannya pada Kinara bukan lagi sekadar rasa terima kasih. Ada benih-benih cinta yang tumbuh.

Suatu sore, saat mereka sedang duduk di taman, sebuah email masuk ke ponsel Arjuna. Beasiswa Berlin.

Jantung Arjuna berdebar kencang. Ia membuka email itu dengan tangan gemetar. Dan... ia diterima. Surat itu berbunyi: "Selamat, Arjuna. Anda diterima di program studi musik kami dengan beasiswa penuh..."

Mimpi lamanya, yang ia kira sudah hancur, kini kembali, mengambang di hadapannya. Berlin. Panggung dunia. Ini adalah kesempatan sekali seumur hidup. Namun, ia menatap ibunya, yang masih membutuhkan perawatan intensif, dan ia menatap Kinara, yang kini duduk di sampingnya, tersenyum hangat.

Bagaimana ia bisa meninggalkan mereka?

"Kinara," suara Arjuna serak. "Aku... aku diterima beasiswa."

Kinara terdiam, senyumnya memudar perlahan. Matanya menatap Arjuna, ada kilasan kesedihan yang tersembunyi di sana. "Itu... kabar baik, Kak Arjuna."

"Tapi ibuku..." Arjuna menunduk. "Aku nggak bisa ninggalin dia. Dan kamu..."

Kinara menghela napas. "Kak Arjuna, ini mimpimu. Kamu sudah berjuang keras untuk ini."

"Tapi sekarang ada kamu," bisik Arjuna, menggenggam tangan Kinara. "Dan Ibu. Aku nggak tahu harus gimana."

Rasa bimbang menggerogoti Arjuna. Ia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi adalah mimpinya yang telah lama ia kejar, masa depan yang cerah sebagai pianis. Di sisi lain adalah tanggung jawabnya pada sang ibu yang sakit, dan perasaan yang baru tumbuh pada Kinara.

Kinara menatap Arjuna. Ada kesedihan yang dalam di matanya, namun ia berusaha tersenyum. "Apapun pilihanmu, Kak Arjuna, aku akan selalu mendukungmu." Namun, di dalam hatinya, Kinara merasakan ketakutan. Ia pernah ditinggalkan, dan ia takut Arjuna akan pergi juga, meninggalkan luka yang sama. Pilihan Arjuna tidak hanya akan menentukan masa depannya, tapi juga takdir hati mereka berdua.

Malam itu, pikiran Arjuna kacau. Ia tidak bisa memilih. Di satu sisi, ia ingin mengejar mimpinya. Di sisi lain, rasa bersalah karena meninggalkan ibunya dan perasaannya pada Kinara terasa terlalu berat. Ia memutuskan untuk mengunjungi ibunya di rumah sakit.

"Ibu tahu kamu diterima beasiswa, Nak," kata Bunda Maya, suaranya lemah tapi matanya memancarkan kebahagiaan. "Ibu bangga padamu."

Arjuna terdiam. "Aku nggak bisa pergi, Bu. Ibu butuh aku."

Bunda Maya menggenggam tangan Arjuna. "Kamu pergi saja, Nak. Ibu akan baik-baik saja di sini. Ini mimpimu." Air mata mengalir di pipi Bunda Maya. "Jangan sampai menyesal seperti Ibu."

Arjuna terkejut. "Maksud Ibu?"

Bunda Maya menghela napas, tatapannya menerawang. "Dulu, Ibu juga punya mimpi, Nak. Ingin jadi penari. Tapi kakekmu sakit. Ibu memutuskan berhenti menari untuk bekerja, merawatnya. Ibu tidak pernah menyesali merawat kakekmu, tapi... Ibu kadang menyesal tidak pernah tahu bagaimana rasanya mewujudkan mimpiku sendiri." Ia menatap Arjuna. "Jangan sampai kamu merasakan penyesalan itu, Nak."

Kata-kata ibunya menghantam Arjuna. Ia melihat bayangan dirinya di masa depan, hidup dengan penyesalan karena tidak mengejar mimpinya. Namun, ia juga memikirkan Kinara.

Keesokan harinya, Arjuna pergi ke toko bunga Kinara, berniat menceritakan semuanya dan membuat keputusan. Namun, saat ia tiba, ia mendengar Kinara berbicara dengan seorang wanita paruh baya yang terlihat khawatir.

"Kamu yakin bisa terus di sini sendirian, Nak?" tanya wanita itu. "Uang peninggalan orang tuamu tidak banyak lagi."

Kinara tersenyum tipis, namun senyum itu tidak sampai ke matanya. "Aku bisa, Tante. Jangan khawatir. Aku akan usahakan."

Arjuna terdiam, bersembunyi di balik rak bunga. Uang peninggalan orang tuanya? Sendirian? Ia selalu mengira Kinara adalah pemilik toko bunga yang sukses, ceria, dan tidak punya masalah. Tapi, percakapan itu menunjukkan Kinara menyimpan rahasia.

Setelah wanita itu pergi, Arjuna memberanikan diri mendekat. "Kinara..."

Kinara terlonjak kaget. Senyumnya langsung mengembang, namun Arjuna bisa melihat ada keraguan di sana. "Kak Arjuna! Sudah lama di sini?"

"Aku... mendengar sesuatu," kata Arjuna pelan. "Tentang orang tuamu. Dan uang."

Senyum Kinara memudar sepenuhnya. Matanya menatap Arjuna, penuh kesedihan dan sedikit ketakutan. "Aku... nggak ada apa-apa, Kak Arjuna."

"Kinara, jangan bohong," kata Arjuna, nadanya lembut. "Kamu bisa cerita sama aku."

Kinara menunduk, bahunya bergetar. "Aku... aku anak yatim piatu, Kak Arjuna. Toko ini peninggalan orang tuaku. Mereka meninggal karena kecelakaan saat aku masih kecil. Aku harus berjuang sendiri. Aku harus kuat, aku harus ceria, supaya orang lain nggak khawatir. Aku nggak mau orang lain merasa kasihan sama aku."

Arjuna terdiam, hatinya perih. Ia baru menyadari betapa kuatnya Kinara, dan betapa berat beban yang ia pikul sendiri. Kinara yang selalu ia anggap ceria dan tanpa beban, ternyata menyimpan luka yang dalam. Dan kini, keputusan Arjuna untuk pergi atau tinggal, tidak hanya memengaruhi dirinya, tetapi juga akan memengaruhi Kinara, gadis yang kini mulai ia cintai, gadis yang rapuh di balik senyum cerianya.

Pengakuan Kinara tentang latar belakangnya menghantam Arjuna telak. Rasa iba bercampur kekaguman. Gadis ceria yang selalu ia temui di toko bunga itu ternyata memikul beban seberat ini, sendirian. Arjuna menyadari, Kinara tidak hanya butuh simpati, ia butuh pengertian dan kehadiran.

"Kinara... kenapa kamu nggak pernah cerita?" tanya Arjuna lembut, meraih tangan Kinara yang dingin.

Kinara menggeleng, air mata menetes di pipinya. "Aku nggak mau terlihat lemah, Kak. Aku takut orang-orang menjauh. Aku harus bisa sendiri."

Hati Arjuna perih. Ia membayangkan Kinara, sendirian, berjuang menghidupi diri sejak kecil. Perasaannya pada Kinara semakin dalam, berubah menjadi keinginan kuat untuk melindungi gadis itu. Dilema antara beasiswa Berlin dan Kinara, serta ibunya, kini terasa semakin berat.

Malam harinya, Arjuna kembali ke rumah sakit. Ia menatap ibunya yang terlelap. "Bu... kalau Arjuna pergi, Ibu akan baik-baik saja?" bisiknya. Ia tahu jawabannya. Ibunya akan berjuang, tapi di balik senyum dan dukungannya, ada kerentanan yang mendalam.

Keesokan harinya, Arjuna kembali ke toko bunga. Ia duduk di hadapan Kinara, yang sedang merangkai buket bunga pesanan. Aroma mawar dan lili memenuhi udara.

"Aku... aku sudah memikirkannya, Kinara," kata Arjuna, suaranya berat. "Beasiswa itu... mungkin aku nggak bisa ambil."

Kinara menjatuhkan guntingnya, menatap Arjuna dengan mata melebar. "Apa?!"

"Ibu butuh aku. Dan... aku nggak bisa ninggalin kamu," lanjut Arjuna, menatap Kinara dengan tulus. "Aku janji akan berusaha cari uang dengan cara lain. Aku akan kerja keras di restoran, aku akan cari job piano lainnya. Aku akan cari jalan."

Mata Kinara berkaca-kaca. Perasaan lega bercampur rasa bersalah menyelimutinya. Ia senang Arjuna memilih tinggal, tapi ia juga tahu betapa berartinya mimpi Berlin bagi pria itu.

"Kak Arjuna nggak boleh begini," kata Kinara, suaranya bergetar. "Itu mimpimu! Jangan korbankan mimpimu cuma karena aku atau Bunda Maya. Kita akan cari jalan lain!"

Arjuna menggenggam tangan Kinara. "Bukan cuma karena itu, Kinara. Aku... aku nggak bisa jauh dari kamu sekarang. Rasanya... aku ingin melindungi kamu. Aku ingin ada di samping kamu."

Kinara menatap Arjuna, merasakan gelombang emosi. Ia melihat ketulusan di mata pria itu. Sebuah pengakuan yang tidak terucap, namun begitu jelas. Namun, ia juga merasakan ketakutan. Ketakutan akan menjadi beban. Ketakutan bahwa Arjuna akan menyesal di kemudian hari. Di antara keharuman bunga, keputusan Arjuna yang berat ini justru membuka babak baru dalam dilema yang lebih rumit

Keputusan Arjuna untuk menolak beasiswa Berlin menyebar cepat di antara kenalan dan gurunya. Banyak yang menyayangkan, menganggapnya bodoh karena mengorbankan masa depan cerahnya. Arjuna hanya bisa tersenyum tipis, menanggung semua itu sendirian. Ia lebih fokus mencari pekerjaan sampingan lagi. Ia bahkan mulai menerima tawaran bermain piano di acara pernikahan atau acara korporat kecil, seringkali pulang larut malam dengan tubuh lelah.

Kinara melihat bagaimana Arjuna berjuang. Ia melihat kantung mata Arjuna yang semakin menghitam, bahunya yang semakin membungkuk menahan beban. Rasa bersalah menggerogoti Kinara. Ia merasa menjadi alasan mengapa Arjuna mengorbankan mimpinya.

Suatu hari, seorang promotor musik kecil yang pernah mendengar Arjuna bermain di restoran menghampirinya. "Arjuna, saya tahu kamu punya bakat besar. Bagaimana kalau saya bantu kamu bikin mini-konser? Kita bisa jual tiket, dan sebagian keuntungannya untuk biaya pengobatan ibumu."

Mata Arjuna berbinar. Ini bisa menjadi jalan keluar. Namun, untuk mempersiapkan konser, ia membutuhkan waktu latihan intensif, yang berarti ia harus mengurangi jam kerjanya. Itu adalah risiko besar.

"Aku... aku butuh uang secepatnya, Pak," kata Arjuna ragu.

"Justru ini kesempatanmu untuk menunjukkan bakatmu dan menarik perhatian investor besar," bujuk promotor. "Ini risiko, tapi potensinya jauh lebih besar."

Arjuna pulang dengan pikiran kacau. Ia menceritakan semuanya pada Kinara.

"Ambil kesempatannya, Kak Arjuna!" Kinara berkata penuh semangat, namun di balik itu ada kegelisahan.

"Tapi kalau gagal? Uang buat Ibu gimana?" tanya Arjuna.

Kinara terdiam. Ia menatap Arjuna dengan tatapan yang dalam. Lalu, dengan suara yang tegas, ia berkata, "Aku akan bantu. Aku akan kerja lebih keras di toko, bahkan kalau perlu, aku akan cari kerja tambahan. Kita akan cari uang itu bareng-bareng. Kak Arjuna fokus sama konsernya."

Mata Arjuna memandang Kinara tak percaya. Ia tahu Kinara juga memikul beban yang berat. Mengapa gadis ini rela berkorban lagi untuknya?

"Kamu yakin?" tanya Arjuna.

Kinara mengangguk, senyum ceria yang sedikit dipaksakan terukir di wajahnya. "Yakin. Kita hadapi ini bersama, kan?"

Arjuna akhirnya setuju. Ia mulai berlatih untuk konser, kembali tenggelam dalam dunia musiknya. Kinara, di sisi lain, mulai bekerja lembur di toko bunga, bahkan sesekali membantu di kafe tetangga. Mereka berjuang bersama, menanggung beban ini di pundak masing-masing. Namun, di tengah perjuangan itu, mereka tidak tahu bahwa ada badai yang lebih besar mengintai. Badai yang akan menguji batas pengorbanan mereka, dan mengungkap kebenaran pahit yang tersembunyi.

Persiapan konser berjalan intensif. Arjuna berlatih siang dan malam, melupakan rasa lelahnya. Kinara terus bekerja keras, bahkan sampai jatuh sakit beberapa kali. Arjuna mengkhawatirkan Kinara, namun Kinara selalu tersenyum dan berkata ia baik-baik saja.

Malam sebelum konser, saat Arjuna dalam perjalanan pulang dari latihan, ia mendapat telepon dari rumah sakit.

"Bunda Maya mengalami komplikasi, Pak Arjuna. Kondisinya kritis. Kami butuh persetujuan untuk operasi darurat..."

Dunia Arjuna runtuh untuk kedua kalinya. Tubuhnya lunglai, ponselnya nyaris jatuh dari genggamannya. Operasi darurat. Biayanya akan sangat besar, melebihi apa pun yang ia dan Kinara kumpulkan. Dan konser besok... apakah itu akan cukup?

Ia bergegas ke rumah sakit. Melihat ibunya terbaring tak berdaya dengan selang di mana-mana, Arjuna menangis. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu. Cepat.

Di saat yang sama, ia memikirkan Kinara. Gadis itu sudah berkorban begitu banyak. Ia tidak bisa membebani Kinara lagi.

Pagi harinya, jam-jam sebelum konser dimulai, Arjuna membuat keputusan paling menyakitkan dalam hidupnya. Ia menelepon promotor dan membatalkan konser. Promotor terkejut, mencoba membujuknya, tapi Arjuna sudah bulat.

"Maafkan saya, Pak. Saya tidak bisa melakukannya. Ibu saya butuh saya."

Ia tahu ini berarti ia kehilangan kesempatan untuk mimpinya lagi, untuk selamanya. Tapi ibunya lebih penting.

Setelah itu, ia menelepon seorang kolektor seni kaya raya yang pernah memuji permainannya di restoran. Dengan suara bergetar, Arjuna menawarkan satu-satunya aset berharga yang ia miliki: piano kesayangannya, peninggalan ayahnya. Piano yang menjadi jembatan mimpinya.

Kolektor itu setuju, dengan harga yang cukup untuk biaya operasi darurat ibunya dan sebagian kecil untuk perawatan pasca-operasi. Arjuna menjual bagian dari jiwanya. Ia tidak menoleh ke belakang saat piano itu diangkut pergi. Hatinya hampa.

Ia kembali ke rumah sakit. Ibu Kinara juga datang, wajahnya pucat.

"Arjuna..." suara Kinara pelan, matanya berkaca-kaca. "Aku dengar konsernya batal? Dan... dan kamu menjual piano?"

Arjuna hanya mengangguk, matanya kosong. "Ibu butuh uang. Ini satu-satunya jalan."

Kinara mendekat, menggenggam tangan Arjuna. "Kenapa kamu nggak bilang ke aku? Kita bisa cari jalan lain, Kak."

"Aku nggak bisa membebanimu lagi, Kinara," kata Arjuna, menatap Kinara. "Kamu sudah berkorban terlalu banyak. Aku nggak mau kamu menyesal karenaku."

Kinara terisak. "Kak Arjuna... aku nggak pernah menyesal ada di sampingmu. Aku akan selalu ada di sampingmu."

Melihat air mata Kinara, Arjuna tak kuasa menahan emosinya. Ia memeluk Kinara erat, mencari kekuatan di dalam pelukan gadis itu. Dua jiwa yang terluka, berpegangan erat di tengah badai kehidupan. Arjuna telah mengorbankan mimpinya, menjual jiwanya, demi orang yang ia cintai. Dan di detik itu, ia menyadari, betapa besar harga dari sebuah cinta dan pengorbanan.

Operasi Bunda Maya berjalan lancar. Ibu Arjuna kini berangsur pulih, meski masih harus menjalani perawatan intensif. Beban finansial memang sedikit teratasi untuk sementara, namun Arjuna tahu itu hanya penundaan. Kehidupannya kini jauh dari gemerlap panggung konser atau sekolah musik di Berlin. Ia kembali bekerja keras di restoran, mengambil shift tambahan, dan menerima pekerjaan apa pun yang bisa menghasilkan uang. Ia memang punya Kinara di sisinya, tapi kehampaan tanpa piano dan mimpi lamanya terasa menyesakkan.

Kinara terus menemani Arjuna. Ia mengunjungi Bunda Maya di rumah sakit, memasak makanan sehat, dan selalu ada untuk Arjuna. Ia sering melihat Arjuna menatap tangannya, seolah merindukan sentuhan tuts piano. Hati Kinara perih. Ia tahu, meskipun Arjuna tidak pernah menyesal di depannya, ada bagian dari diri Arjuna yang hancur karena mengorbankan mimpinya.

Suatu sore, Kinara mengajak Arjuna ke toko bunga. Suasananya sepi, hanya ada mereka berdua. Kinara mengulurkan sebuah kotak kecil pada Arjuna.

"Apa ini?" tanya Arjuna, menatap kotak itu.

"Ini tabunganku, Kak Arjuna," kata Kinara. "Sejak orang tuaku meninggal, aku selalu menabung untuk masa depan. Ini nggak seberapa, tapi... ini bisa buat Kak Arjuna beli piano bekas. Atau setidaknya, buat modal awal untuk les musik lagi, kalau Kak Arjuna mau."

Arjuna menatap Kinara, matanya berkaca-kaca. "Kinara... kamu nggak perlu melakukan ini."

"Aku mau," Kinara tersenyum tulus. "Mungkin impian itu nggak hilang, Kak Arjuna. Mungkin dia cuma berubah bentuk. Kita bisa bangun lagi dari awal." Kinara memegang tangan Arjuna. "Kamu sudah berkorban begitu banyak untuk Ibu, dan untukku. Sekarang, biarkan aku berkorban untukmu."

Arjuna memeluk Kinara erat, merasakan kehangatan yang tulus dari gadis itu. Ia menyadari, meski mimpinya yang dulu hancur, ia tidak kehilangan segalanya. Ia masih punya Kinara, seorang gadis yang rela berkorban, yang memahami kesakitannya, dan yang selalu ada di sisinya. Kinara adalah melodi baru dalam hidupnya, melodi yang lebih nyata dan penuh arti.

Bertahun-tahun kemudian...

Toko bunga "Kinara's Blooms" kini semakin besar dan ramai. Kinara, dengan senyum khasnya, masih merangkai bunga, namun kini ia memiliki beberapa karyawan. Di dinding toko, tergantung sebuah foto Arjuna yang tersenyum lebar, sedang bermain piano di sebuah acara komunitas.

Ya, Arjuna tidak pernah kembali ke Berlin. Ia tidak bisa lagi membeli piano megah seperti dulu. Namun, berkat tabungan Kinara dan semangatnya yang tak pernah padam, Arjuna berhasil membeli piano elektrik bekas. Ia mulai mengajar les piano lagi, tidak di studio mewah, melainkan di rumahnya yang kini sedikit lebih besar. Ia juga sesekali menjadi pianis di acara-acara kecil, dan seringkali, Kinara akan datang membawa setangkai bunga Forget-Me-Not untuk diletakkan di samping pianonya.

Arjuna tidak menjadi pianis kelas dunia seperti yang ia impikan dulu. Namun, ia menemukan kebahagiaan yang berbeda. Kebahagiaan melihat ibunya yang kini sehat dan bisa tersenyum. Kebahagiaan melihat Kinara yang tumbuh menjadi wanita kuat dan mandiri. Dan kebahagiaan saat melihat senyum anak-anak didiknya yang belajar piano, mengingat kembali mimpinya yang bersemi dalam diri mereka.

Suatu sore, Arjuna dan Kinara duduk di bangku taman, tempat mereka sering berbagi cerita. Arjuna meraih tangan Kinara, mencium punggung tangannya.

"Dulu, aku pikir harmoniku pecah, Kinara," kata Arjuna, menatap langit senja. "Aku pikir hidupku sudah nggak ada artinya tanpa piano itu."

Kinara menyandarkan kepalanya di bahu Arjuna. "Tapi kamu nggak menyerah, Kak Arjuna. Dan kamu menemukan harmoni yang baru."

"Harmoni itu... kamu," bisik Arjuna. "Dan Ibu. Dan senyum anak-anak didikku."

Kinara tersenyum. "Mungkin Tuhan punya rencana yang lebih indah, Kak Arjuna."

Arjuna mengangguk. Ia memang tidak mendapatkan panggung dunia yang ia impikan. Tapi ia mendapatkan sesuatu yang jauh lebih berharga: keluarga, cinta, dan pemahaman bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang mengejar mimpi, melainkan tentang menemukan makna dalam pengorbanan, dan membangun harmoni baru dari pecahan-pecahan yang ada. Di samping Kinara, Arjuna tahu, ia telah menemukan harmoni yang sejati, harmoni yang mungkin tidak sempurna, namun terasa begitu utuh dan penuh cinta.