Cherreads

Chapter 1 - Aroma Perjalanan dan Pertarungan Pembuka

Udara di kaki Gunung Merapi Purba terasa berat, dipenuhi aroma belerang dan bisikan angin yang membawa cerita-cerita kuno. Di sebuah gua tersembunyi, yang dindingnya dipenuhi ukiran purba yang nyaris tak terlihat, duduklah seorang pemuda dengan tatapan mata yang kadang serius, kadang melamun, seolah sedang memikirkan resep bakwan paling lezat sejagat raya. Itu dia, Pangeran Kenthir, Sang Pendekar Kocak. Jubah cokelatnya yang sederhana dan penuh tambalan, menyatu sempurna dengan warna tanah, dan rambut hitamnya yang gondrong, dikepang seadanya, tergerai di bahu. Di pinggangnya, terselip sebuah Kapak Ketiak Wangi, bilahnya hitam pekat, gagangnya terbuat dari kayu gaharu, dan seperti namanya, selalu terselip nyaman di ketiaknya, mengeluarkan aroma yang… unik.

Sudah berbulan-bulan Pangeran Kenthir mengembara. Awalnya cuma iseng, jalan-jalan cari bahan ramuan unik untuk resep masakan anehnya, seperti kerupuk rasa rumput laut atau gulai jamur pelangi. Tapi kemudian, takdir membawanya pada sebuah pertemuan yang tak terduga dengan gurunya, Mbah Gundul Sejati—"Master Kopi Dingin" legendaris yang kepalanya licin kinclong dan selalu menyeruput kopi es di tengah badai salju.

Malam itu, di puncak Pegunungan Es Abadi, Mbah Gundul Sejati, tanpa banyak bicara, cuma menunjuk ke arah selatan sambil menyeruput kopinya yang mengepulkan uap dingin. "Pergilah," katanya, suaranya sedingin embun pagi. "Ikuti aroma. Akan ada yang menangis. Aroma itu akan membimbingmu pada masalah baru... dan mungkin, camilan enak."

Pangeran Kenthir tak sepenuhnya mengerti, tapi ia percaya pada naluri perutnya dan, tentu saja, pada aroma Kapak Ketiak Wangi-nya. Aroma yang dimaksud Mbah Gundul adalah bau busuk yang samar, seperti bau bangkai tikus yang sudah seminggu. Itu petunjuk dari kapaknya yang, entah kenapa, jika ada masalah penting di depan, baunya akan berubah jadi aneh. Ia yakin ini adalah jejak awal menuju Murka Gelap Jiwa, si Tukang Ngorok Maut, pendekar kejam dengan Pedang Ngorok Berapi yang konon bisa menghisap semangat lawan hingga membuat mereka tertidur pulas selamanya. Konon, Murka Gelap Jiwa bersembunyi di suatu tempat yang dikenal sebagai "Tanah yang Menangis", menyimpan rahasia kekuatan kuno yang bisa menghancurkan dunia persilatan.

Pagi itu, saat ia melintasi jalan setapak di pinggir hutan yang rimbun, aroma busuk itu makin kuat. Bukan cuma bau bangkai, tapi juga bau keringat bercampur nasi basi. "Ugh, perpaduan aroma yang sangat tidak elit!" gumam Pangeran Kenthir, hidungnya sedikit berkerut. Ia menggaruk ketiaknya, lalu mencium Kapak Ketiak Wangi-nya. "Astaga, baunya! Seperti sampah belum dibuang seminggu! Ini pasti pertanda masalah besar, atau setidaknya, masalah yang sangat bau."

Dari balik tikungan jalan, terlihatlah pemandangan yang membuat Pangeran Kenthir mendengus geli sekaligus geram. Lima pria bertubuh besar dengan pakaian lusuh, lengkap dengan golok dan parang di tangan, sedang merampok sebuah gerobak yang membawa hasil panen sayuran. Seorang kakek tua beruban dan cucunya yang masih kecil menangis ketakutan di samping gerobak yang sudah berantakan.

"Ampun, Kang! Jangan ambil semua! Itu satu-satunya harta kami!" pinta kakek itu dengan suara serak.

"Hahaha! Diam kau, Kakek! Ini adalah pajak jalanan!" seru salah satu perampok dengan janggut lebat dan gigi kuning. "Serahkan semua, atau kupenggal lehermu! Jangan coba-coba melawan!"

Pangeran Kenthir melangkah maju, tangannya santai mengayun-ayunkan Kapak Ketiak Wangi di udara. "Hei, para tukang usil!" serunya dengan nada ceria yang sangat kontras dengan suasana mencekam itu. "Kenapa pagi-pagi sudah cari ribut? Kalian ini kurang kerjaan ya? Nanti saya kasih pekerjaan, bersihin hidung gajah yang lagi pilek!"

Lima perampok itu menoleh, terkejut melihat Pangeran Kenthir yang tiba-tiba muncul. Mereka tertawa mengejek melihat penampilannya yang nyeleneh dan senjatanya yang terkesan main-main.

"Hahaha! Lihat siapa ini! Bocah ingusan berani mengganggu pekerjaan kami!" ejek perampok berjanggut sambil mengacungkan goloknya. "Cepat menyingkir, atau kami akan menjadikanmu pupuk tanaman! Cocok dengan penampilanmu yang seperti rumput liar!"

"Pupuk? Wah, saya tidak suka jadi pupuk. Saya lebih suka jadi pendekar kesayangan penduduk yang dielu-elukan!" Pangeran Kenthir menyeringai, menunjukkan gigi depannya yang agak renggang. "Baiklah, karena kalian memaksa, mari kita bermain! Tapi ingat, ini bukan mainan petak umpet, lho. Ini mainan serius yang bisa bikin bau!"

Perampok berjanggut geram. Ia tak pernah diremehkan seperti ini. "Kurang ajar! Serang dia! Jangan biarkan dia banyak omong! Habisi dia cepat!"

Dua perampok pertama, yang paling agresif, melesat maju. Golok mereka berkilat di bawah cahaya pagi yang samar, mengincar tubuh Pangeran Kenthir. Pangeran Kenthir hanya terkekeh. Dengan gerakan ringan nan cepat, ia mengayunkan Kapak Ketiak Wangi-nya. Bilah kapak tidak diarahkan langsung ke lawan, melainkan ia mengibas-ngibaskan kapak di depan wajah kedua perampok dengan gerakan yang aneh, seperti mengusir lalat bandel.

Aroma aneh tiba-tiba menyeruak kuat dari kapak: bau bawang goreng dicampur durian busuk yang sudah menginap tiga hari. Kedua perampok itu sontak mengernyit, mata mereka berair, dan wajah mereka pucat pasi.

"Hidungku!" teriak salah satu perampok sambil memegangi hidungnya yang tiba-tiba terasa tersumbat. "Bau apa ini?! Aku tak bisa bernapas! Huweekk!" Ia bahkan nyaris muntah.

"Baunya seperti kaos kaki Pak RT yang sudah dipakai seminggu tanpa dicuci!" sambung perampok satunya, hidungnya kembang kempis.

Pangeran Kenthir tertawa terbahak-bahak, sampai-tiba-tiba Kapak Ketiak Wangi mengeluarkan bau aroma kopi susu sisa kemarin. "Itu jurus Aroma Kenangan Mual! Efek samping dari Kapak Ketiak Wangi! Enak kan baunya? Masih mau lagi? Atau mau yang rasa ketiak kura-kura?"

Saat kedua perampok itu sibuk menahan mual dan memegangi hidung mereka, Pangeran Kenthir melompat, kakinya menendang bokong salah satu perampok hingga terpental ke tumpukan karung hasil panen. Duak! Suaranya seperti menendang karung goni berisi kapas. Perampok satunya lagi, masih mual dan terhuyung, hanya bisa pasrah saat Pangeran Kenthir memutar kapaknya, gagangnya mengenai jidatnya dengan bunyi "tok!". Ia langsung pingsan di tempat dengan mata melotot, seolah baru saja melihat hantu pocong joget dangdut.

Tiga perampok yang tersisa menatap Pangeran Kenthir dengan tatapan tak percaya, bahkan ngeri. Pendekar aneh ini bukan main-main! Senjata apa itu? Mengeluarkan bau dan membuat orang pingsan? Ini di luar nalar mereka.

"Kurang ajar! Ilmu sihir apa ini?!" teriak perampok berjanggut, ia mulai merasa gentar. "Jangan hanya mengandalkan bau! Hadapi kami dengan senjata, pengecut!"

"Tenang, Kang. Ini bukan sihir, ini cuma keunikan saja!" Pangeran Kenthir menyeringai, ia menyentuhkan Kapak Ketiak Wangi ke tanah yang bekas diinjak para perampok. Kilatan bayangan samar muncul: mereka melihat ingatan perampok itu pernah mencuri ayam tetangga dan gagal! "Aha! Aku tahu rahasia kalian! Kalian suka mencuri ayam tapi ketahuan melulu! Pasti bau kaki ayamnya masih nempel di ingatan kalian!"

Pangeran Kenthir melesat maju, Kapak Ketiak Wangi menari-nari di tangannya. Ia tidak membacok, melainkan mengayunkan kapaknya untuk menciptakan gelombang aroma-aroma aneh yang bercampur dengan ilusi ingatan. Perampok yang satu tiba-tiba melihat dirinya dikejar babi hutan raksasa yang bau amis, yang lain melihat ibunya marah besar karena ia belum mandi dan bau ketek, dan perampok berjanggut melihat dirinya terperangkap dalam jaring laba-laba raksasa yang aroma jaringnya seperti kaus kaki basah!

Mereka semua berteriak panik, berlarian tanpa arah, bahkan saling menabrak, hingga akhirnya terpeleset dan jatuh ke dalam parit berisi lumpur yang bau kotoran sapi. Mereka berguling-guling di lumpur, berteriak-teriak minta ampun, tak sanggup lagi bertarung melawan bau dan ilusi memalukan yang diciptakan Kapak Ketiak Wangi.

Pangeran Kenthir tertawa terpingkal-pingkal melihat ulah mereka. "Nah, sudah selesai! Gampang kan? Jadi preman itu harus sering mandi ya, biar kapakku tidak protes baunya! Dasar kalian, bau!"

Ia membantu kakek dan cucunya menata kembali hasil panen mereka yang berantakan. Kakek itu memandangnya dengan rasa kagum bercampur geli. "Terima kasih banyak, Tuan Pendekar... Tuan...?"

"Pangeran Kenthir! Salam kenal, Kek!" Pangeran Kenthir memberi hormat dengan gaya agak membungkuk tapi kepala tetap tegak, lalu mengedipkan mata pada cucu si kakek. "Jangan khawatir, para preman itu tidak akan berani mengganggu lagi. Kalau berani, nanti saya kasih bau kaus kaki saya yang belum dicuci sebulan! Dijamin kapok!"

Kakek dan cucunya tertawa, lega dan sedikit geli. Pangeran Kenthir melambaikan tangan, lalu melanjutkan perjalanannya menuju Desa Teluk Tenang. Aroma busuk di Kapak Ketiak Wangi kini sedikit menghilang, digantikan oleh aroma samar lumpur, sedikit bau buah naga, dan entah kenapa, bau balsem yang menusuk hidung. "Wah, kapakku mulai berkreasi lagi," gumamnya. Perjalanan awal ini cukup menghibur, pikirnya. Ia tak sabar menanti masalah unik apalagi yang akan menantinya di depan.

More Chapters