Sementara itu, setelah tragedi kalender yang tumbang, aku menghampiri sandal di depan pintu.
Sandal itu berdebu, juga sobek ujungnya.
Ia dipenuhi debu bukan karena lupa dibersihkan, tapi karena ia tahu: langkah yang dulu bersumpah pulang membersamai kehangatan ruang, tak benar-benar kembali pulang.
Sandal itu sobek ujungnya bukan karena jemari kaki lupa dipangkas kukunya, tapi karena medan yang ia lalui terlalu runcing bersama harapan.
Yang kanan masih berharap.
Yang kiri sudah tercabik menunggu.
"Katanya cuma sebentar," ucapnya sinis,
"Tapi ternyata, kami yang tinggal jadi pemakaman kenangan, atas serangkaian medan yang ia langkahi beserta harap dengan amat tergontai."
Kini ia lebih cocok disebut nisan,
daripada alas kaki. Yang diam-diam menjadi saksi betapa beraharganya suatu krpercayaan.
Aku jadi terbayang saat menanjak, dengkul kakiku lunglai membuat otot-ototnya tersemai.